Kode Etik |
KODE ETIK PENYELENGGARA NEGARA
DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
A.
Latar Belakang
Keinginan mewujudkan good governance dalam kehidupan pemerintahan telah lama dinyatakan
oleh para pejabat Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota. Presiden SBY
bertekad menjadikan good governance
sebagai bagian terpenting dari pemerintah ketika dilantik sebagai Presiden
dengan memberikan instruksi kepada semua menteri untuk memberantas KKN dan
mewujudkan pemerintah yang bersih. Para Walikota/Bupati serta sejumlah kalangan
di luar pemerintahan juga banyak yang menyatakan ingin mewujudkan good governance menjadi praktik
tata-pemerintahan sehari-hari di lingkungan mereka.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mewujudkan good governance di dalam pemerintahan kita? Strategi apa yang sebaiknya dilakukan untuk
mewujudkan good governance?
Pertanyaan tersebut, tentu tidak mudah untuk menjawabnya karena sejauh ini
konsep good governance sendiri
memiliki arti yang luas dan sering dipahami secara berbeda-beda. Banyak orang
menjelaskan good governance secara
berbeda karena tergantung pada konteksnya. Dalam konteks pemberantasan KKN, good governance sering diartikan sebagai
pemerintahan yang bersih dari praktik KKN. Good
governance dinilai terwujud jika pemerintah yang berkuasa mampu menjadikan
dirinya sebagai pemerintah yang bersih dari praktik KKN.
Dalam proses demokratisasi, good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan
pemerintahan yang memberi ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di
luar pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antara
Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar.
Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga
unsur tersebut bukan hanya memungkinkan adanya check and balance tetapi juga menghasilkan sinergi yang baik dalam
mewujudkan kesejahteraan bersama.
Good governance
sebagai sebuah gerakan juga didorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor
dan keuangan internasional[1]
untuk memperkuat institusi yang ada di Negara dunia ketiga dalam melaksanakan
berbagai kegiatan yang dibiayai oleh berbagai lembaga itu. Mereka menilai
bahwa, kegagalan-kegagalan proyek yang mereka biayai merupakan akibat lemahnya
institusi pelaksana di negara-negara dunia ketiga yang disebabkan oleh praktik bad governance seperti tidak transparan,
rendahnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap terhadap kebutuhan warga,
diskriminasi terhadap stakeholders yang
berbeda, dan inefisiensi. Karena itu, lembaga keuangan internasional dan donor
sering mengkaitkan pembiayaan proyek-proyek mereka dengan kondisi atau
ciri-ciri good governance dari
lembaga pelaksana.
Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dalam
menjelaskan konsep good governance
maka tidak mengherankan kalau kemudian terdapat banyak pemahaman yang
berbeda-beda mengenai good governance.
Namun, secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam
praktik governance yang baik. Pertama,
praktik governance yang baik harus
memberi ruang kepada aktor lembaga non-pemerintah untuk berperan serta secara
optimal dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi di
antara aktor dan lembaga pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat
sipil dan mekanisme pasar. Kedua, dalam praktik governance yang baik terkandung
nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk
mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan
daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktik governance yang baik adalah praktik pemerintahan yang bersih dan
bebas dari praktik KKN dan berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu,
praktik pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan
akuntabilitas publik.
Tantangan utama dalam mewujudkan good governance adalah bagaimana mewujudkan ketiga karakteristik
tersebut dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Tentu bukan pekerjaan yang
mudah untuk mewujudkan ketiga hal itu dalam praktik pemerintahan sehari-hari di
Indonesia.
Tradisi pemerintahan yang ada
sekarang ini masih sangat jauh dari ciri-ciri yang dijelaskan di atas.
Pembagian peran antara pemerintah dan lembaga non-pemerintah sering masih
sangat timpang dan kurang proporsional sehingga sinergi belum optimal.
Kemampuan pemerintah melaksanakan kegiatan secara efisien, berkeadilan, dan
bersikap responsif terhadap kebutuhan masyarakat masih sangat terbatas. Praktik
KKN masih terus menggurita dalam kehidupan semua lembaga pemerintahan baik yang
berada di pusat ataupun di daerah.
Strategi
jitu perlu diambil oleh pemerintah dalam mengembangkan praktik governance yang baik. Luasnya cakupan
persoalan yang dihadapi, kompleksitas dari setiap persoalan yang ada, serta
keterbatasan sumberdaya dan kapasitas pemerintah dan juga non-pemerintah untuk
melakukan pembaharuan praktik governance mengharuskan
pemerintah mengambil pilihan yang strategis dalam memulai pengembangan praktik governance yang baik. Pembaharuan
praktik governance, yang dalam banyak
hal masih mencirikan bad governance
menuju pada praktik governance yang
baik, dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah,
masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, sejauh perubahan tersebut secara
konsisten mengarah pada perwujudan ketiga karakteristik praktik pemerintahan
sebagaimana telah dijelaskan di atas.
B. Internalisasi Tata Nilai Birokrasi Untuk
Mewujudkan Good Governance
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, subsistem aparatur memegang peranan
yang strategis. Keberhasilan ataupun kegagagalan penyelenggaraan pemerintahan
akan sangat tergantung kepada kualitas aparatur yang menjalankan roda
pemerintahan. Dalam suasana transisi dan perubahan yang cepat dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan, aparatur sebagai motor penggerak birokrasi
dihadapkan pada tuntutan yang tinggi dari masyarakat. Masyarakat menaruh
harapan yang tinggi agar aparatur
pemerintah meningkatkan kualitas pelayanan publik, transparansi dan
akuntabilitas.
Tugas
aparatur pemerintahan akan semakin kompleks apabila dikaitkan dengan tugas
pemerintahan dan tujuan otonomi daerah
yaitu peningkatan kesejahteraan, peningkatan daya saing daerah dan
peningkatan pelayanan publik. Kata kunci yang perlu diperhatikan oleh aparatur
adalah ”profesionalisme dan kemauan untuk berubah”. Oleh karena itu dalam kondisi perubahan dan
transisi penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma sentralistik menuju
paradigma desentralistik diperlukan cara pandang baru dan pola pikir baru dari
aparatur pemerintahan.
Pelaksanaan
otonomi daerah harus diakui belum mampu memberikan peningkatan kesejahteraan
masyarakat, daya saing daerah dan pelayanan publik. Disadari sepenuhnya, untuk
mencapai tujuan otonomi daerah tersebut, kinerja birokrasi menjadi isu yang
strategis, karena mempunyai implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan
politik. Dalam kehidupan ekonomi, selain karena faktor kepastian hukum dan
keamanan nasional, sumber daya aparatur yang berkualitas dan diikuti dengan
perbaikan kinerja birokrasi dapat memperbaiki iklim investasi. Sedangkan dalam
kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi akan memberikan implikasi
terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan
demikian, faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan, bukanlah hanya pada
ketersediaan faktor produksi melainkan juga terletak pada sumber daya
aparaturnya (Suparmoko, 2002:106, Agus Dwiyanto, 2002; v-vi).
Dari
pengamatan penulis, dapat diperoleh kesimpulan secara umum bahwa terdapat
kecenderungan aparatur birokrasi mempunyai kinerja rendah. Rendahnya kinerja
ini dipengaruhi kuatnya orientasi aparatur pada kekuasaan daripada pelayanan,
menempatkan diri sebagai penguasa dan memperlakukan masyarakat sebagai obyek
yang membutuhkan bantuan.
Selain
itu, rendahnya kinerja birokrasi juga disebabkan oleh sistem pembagian kewenangan dan kekuasaan
yang lebih memusat pada pimpinan sehingga staf/bawahan yang berhadapan langsung
dengan masyarakat tidak diberikan wewenang yang memadai untuk merespon dinamika
yang berkembang dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Perkembangan birokrasi tidak dapat dilepaskan dari tujuh karakteristik utama, yaitu:
- Pembagian tugas dan spesialisasi kerja
- Hubungan dalam organisasi bersifat impersonal (kedinasan), bukanlah bersifat perorangan/pribadi.
- Hirarki kewenangan, artinya setiap bagian yang lebih rendah selalu berada dibawah kewenangan dan supervisi dari bagian di atasnya.
- Manajemen selalu didasarkan pada dokumen tertulis
- Sistem karir dan orientasi pembinaan pegawai, artinya bahwa pengembangan karir dilakukan secara profesional sehingga keahlian dan kompetensi menjadi acuan utama.
- Efisiensi yang maksimal, sehingga setiap tindakan yang diambil selalu diukur dengan kemanfaatannya bagi organisasi.
- Sistem aturan dan diskresi (bandingkan dengan Doli D Siregar, 2004;408).
Mencermati tujuh karakteristik
di atas, apabila karakteristik tersebut dilaksanakan dengan benar maka wajah
aparatur dan birokrasi Indonesia tidak akan seperti saat ini. Wajah birokrasi
Indonesia digambarkan sebagai lamban, bodoh, korup, tidak peka dan sebagainya.
Ungkapan ”kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah” dan ”lebih susah
memecat PNS daripada mengangkat menjadi PNS” merupakan sindiran yang sangat
tajam, tetapi dianggap bahan lelucon oleh aparatur birokrasi sendiri. Kondisi
ketidaknyamanan dalam bekerja, gaji yang rendah, ketidakjelasan kewenangan,
sistem pengawasan yang tidak terukur, korupsi yang dianggap budaya dijadikan
alasan pembenar bahwa aparatur dapat bekerja secara ”semau gue”. ( Baca juga Internalisasi anak bangsa )
Birokrasi mengandung
pengertian adanya pengaturan agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan
secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Birokrasi,
sebagaimana dikemukakan oleh Weber, merupakan sistem dalam organisasi. Sebagai
sebuah sistem dalam organisasi, birokrasi haruslah diatur secara rasional, impersonal
(kedinasan), bebas prasangka dan tidak
memihak. Dengan pengaturan tersebut, diharapkan organisasi akan dapat
memanfaatkan sumber daya manusia/aparatur secara maksimal untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Dalam konteks yang demikian, birokrasi sebenarnya
bermakna positif, tidak seperti yang dikenal secara umum seperti saat ini,
bahwa birokrasi selalu dimaknai negatif dengan proses yang berbelit-belit,
panjang, penuh formalitas, feodal dan sebagainya. Paham birokrasi dikemukan
oleh Weber pada tahun 1890 justru untuk menumbangkan paham feodalisme yang masih
kuat dengan sistem kekeluargaan (Doli D Siregar, 2004;407).
Birokrasi Indonesia
dapat diibaratkan dengan sebuah bangunan yang mempunyai 6 pilar utama, yaitu :
1. Individu aparatur
2. Kepemimpinan
3. Struktur dan
Institusi
4. Sistem dan Prosedur
5. Budaya masyarakat
6. Kesejahteraan
Namun demikian, apabila
dicermati satu persatu, pilar-pilar tersebut rapuh dan tidak akan mampu
menopang bagi terciptanya birokrasi yang profesional. Individu Aparatur
mempunyai kelemahan mendasar yaitu kurangnya kompetensi, lemahnya internalisasi
nilai-nilai dan etos kerja, bekerja lebih banyak berdasarkan perintah daripada
inisiatif dan inovasi. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya tingkat
kesejahteraan aparatur. Sistem dan prosedur birokrasi mempunyai kelemahan yang
mendasar yaitu kurangnya sistem pemantauan, pengendalian, pengawasan dan
penilaian aparatur yang terukur, sistem karir yang tidak pasti, prosedur mutasi
yang tidak transparan. Dari aspek Struktur dan Institusi, terdapat kelemahan
yang mendasar yaitu strukturnya yang besar dengan jenjang kewenangan yang tidak
fokus. Institusi yang ada terjadi tumpang tindih ruang lingkup pekerjaan,
kurang koordinasi dan terjadi ego institusi yang tinggi. Budaya masyarakat
masih bertumpu pada beberapa kebiasaan lama, misalnya memberi uang sogok agar
urusannya dipercepat, tidak mau melaporkan bila ada penyimpangan dan lain-lain.
Dari pilar-pilar tersebut, yang tidak kalah pentingnya adalah pilar
Kepemimpinan. Kepemimpinan yang kuat, jujur dan dapat dipercaya merupakan
faktor yang memegang peranan kunci. Kepemimpinan yang memberikan teladan, tidak
memberikan arahan yang melanggar prosedur dan aturan akan sangat membantu dalam
membangun birokrasi yang profesional.
Setiap
organisasi birokrasi dimanapun selalu mempunyai
nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman aparaturnya dalam bekerja. Tata
nilai yang ada dalam birokrasi tersebut menjadi acuan, ukuran dan standar moral
dalam menunaikan hak dan kewajibannya. Pertanyaannya adalah untuk birokrasi
Indonesia, apakah nilai-nilai dasar yang harus dianut oleh aparatur yang ada di
dalamnya ? Nilai-nilai dasar apakah yang diajarkan kepada aparatur saat
memasuki dunia kerja ? bagaimanakah proses internalisasi nilai-nilai tersebut
ke dalam diri aparatur ?
Pertanyaan
ini perlu kita jawab bersama-sama karena dalam kondisi perubahan seperti saat
ini nilai-nilai dasar tersebut mempunyai peran strategis untuk membangun
perilaku dan pola pikir baru aparatur birokrasi.
Menurut
pengamatan penulis, ada 8 nilai dasar
birokrasi Indonesia yang harus dijadikan budaya kerja, yaitu :
- Kejujuran
- Menghargai waktu
- Nikmat berkreasi
- Keteladanan
- Tanggung jawab kepada tugas
- Keutamaan kesabaran
- Kemauan untuk berubah
- Keluhuran budi
Nilai-nilai dasar di atas
merupakan pemandu dan pedoman bagi setiap aparatur birokrasi di dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Nilai-nilai tersebut akan menjadi ”inner motivation” yang akan memberikan
dorongan terhadap setiap perilaku aparatur birokrasi. Namun demikian, dalam
sebuah institusi akan selalu terjadi interaksi antara ”inner motivation” dengan ”outer motivation” yang seringkali justru menjadi faktor
eksternal yang sangat dominan dalam pencapaian tujuan institusi. Di dalam
institusi birokrasi terdapat berbagai faktor penentu profesionalisme aparatur
yang secara kumulatif dapat membangun kualitas institusi. Interaksi antara
nilai-nilai dasar birokrasi dan faktor penentu profesionalisme aparatur akan
menghasilkan kinerja institusi. Oleh karena itu, kedua tata nilai tersebut
harus dapat dikembangkan secara paralel sebagai strategi birokrasi untuk mewujudkan
good governance. Faktor penentu profesionalisme aparatur
terdiri dari berbagai faktor yang saling terkait dan sifatnya berkelanjutan.
Apabila salah satu faktor yang ada bersifat negatif, maka dapat diprediksikan
akan terjadi distorsi terhadap profesionalisme dan kinerja aparatur. Oleh
karena itu, semua faktor penentu profesionalisme haruslah dipandang sebagai
sebuah sistem. (Baca juga Internalisasi perjuangan Bangsa)
Faktor-faktor penentu profesionalisme aparatur
tersebut adalah:
- Kepemimpinan dan keteladanan
- Pendidikan berkelanjutan
- Kejelasan delegasi dan kewenangan
- Kesejahteraan pegawai
- Komunikasi harmonis antar strata jabatan
- Kejelasan sistem karir
- Kemauan untuk berubah, dan
- Lingkungan yang kondusif
Untuk
mewujudkan aparatur yang profesional, selain adanya kejelasan tata nilai yang
dipedomani juga dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu profesionalisme
sebagaimana diuraikan di atas dan setiap
aparatur harus mampu menggeser paradigma berpikir sehingga terwujud pergeseran
nilai-nilai lama menuju nilai-nilai baru. Pergeseran nilai-nilai lama menuju
nilai-nilai baru dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel: 1
PERGESERAN NILAI-NILAI MENUJU PROFESIONALISME APARATUR
NO
|
NILAI LAMA
|
NILAI BARU
|
1
|
Orientasi Lokal
|
Orientasi Lokal dan Global
|
2
|
Bekerja Individual
|
Aliansi dan Jaringan
|
3
|
Orientasi Teknis
|
Orientasi Masyarakat/pasar
|
4
|
Fokus Pada Hasil
|
Fokus Pada Nilai Tambah
|
5
|
Reaktif dan Pasif
|
Proaktif dan Inovatif
|
6
|
Orientasi Jumlah
|
Orientasi Etika dan Profesionalisme
|
7
|
Pemenuhan kebutuhan diri
|
Pemenuhan kebutuhan pelanggan/ masyarakat
|
8
|
Menghabiskan anggaran
|
Efisien
|
9
|
Orientasi pada
pimpinan
|
Orientasi pada pekerjaan
|
C.Etika Penyelenggara Negara Sebagai
Landasan Mewujudkan Good Governance
Good Governance
sebagai sebuah grand design
pemerintahan modern sarat dengan nilai-nilai yang dapat dijadikan benih-benih
etika penyelenggara negara. Untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, terdapat tata nilai
yang harus diimplementasikan yaitu :
1. KESETARAAN: memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraannya (EQUITY: to
provide equal opportunities for all citizens to increase their welfare).
2. PENGAWASAN: meningkatkan upaya pengawasan terhadap
penyelenggara pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan
swasta dan masyarakat luas (SUPERVISION: to enforce strict control and supervision over public administration
and development activities by involving the public as well as community
organizations). Melakukan
kontrol dan supervisi terhadap administrasi publik, dan mengembangkan aktivitas
dengan melibatkan masyarakat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
3. PENEGAKAN HUKUM:
mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa
pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat (LAW ENFORCEMENT: to
assure that law enforcement and legal security are fair and impartial (non-discriminating)
and support human rights by taking account of the values prevalent in society).
Memastikan bahwa penegakan dan perlindungan hukum dilakukan secara adil dan
tanpa diskriminasi, dan mendukung hak asasi manusia dengan memperhatikan
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
4. DAYA TANGGAP:
meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi
masyarakat, tanpa kecuali (RESPONSIVENESS: to increase the responsiveness of government administrators to complaints,
problems, and aspiration of the people). Meningkatkan respons dari
aparat pemerintahan untuk mengatasi masalah, komplain, dan aspirasi dari
masyarakat, untuk mencari solusi yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
5. EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS: menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan
sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab (EFFECTIVENESS
AND EFFICIENCY: to provide services
meeting the needs of the general public by utilizing all resources optimal and
wise). . Memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas,
dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal dan bijaksana.
6. PARTISIPASI: mendorong
setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses
pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara
langsung maupun tidak langsung (PARTICIPATION: to encourage all citizens to exercise their right to express, directly
or indirectly, their opinion in decision making processes). Memberi
dorongan bagi warga untuk menyampaikan pendapat, secara langsung atau tidak
langsung, dalam proses pengambilan keputusan untuk memberi manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.
7.PROFESIONALISME: meningkatkan kemampuan dan moral
penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat,
tepat dengan biaya yang terjangkau (PROFESSIONALISM: to increase the capacity, skills and morals
of the government administrators, so that they will have the emphaty to provide
accessible, fast, accurate, and affordable services). Meningkatkan
kapasitas, keterampilan, dan moral dari administrasi pemerintah, sehingga
mereka akan memperoleh empathi dalam memberikan pelayanan yang dapat diakses,
cepat, akurat, dan terjangkau.
8. AKUNTABILITAS: Meningkatkan
tanggungjawab dan tanggunggugat para pengambil keputusan dalam segala bidang
yang menyangkut kepentingan masyarakat luas (ACCOUNTABILITY: to enhance public accountability of
decision-makers in government, the private sector and community organization in
all areas – political, fiscal, budgetary). Meningkatkan
akuntabilitas terhadap proses pengambilan keputusan di pemerintahan, sektor
swasta dan organisasi kemasyarakatan dalam semua hal (politik, fiskal,
anggaran).
9. WAWASAN KE DEPAN:
Membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan
warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut
bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya (STRATEGIC VISION: to formulate an urban strategy, supported by
an adequate budgeting system, so that city residents have a feeling of
ownership and sense of responsibility for the further progress of their city).
Kemampuan untuk memformulasikan suatu strategi yang didukung oleh sistem
anggaran yang menunjang, sehingga warga merasa ikut memiliki dan bertanggung
jawab untuk terus meningkatkan pembangunan.
10. TRANSPARANSI: menciptakan kepercayaan timbal balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan
di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai (TRANSPARENCY: to build a mutual trust between the
government and the public, the government administrator must provide adequate
information to the public and easy access to accurate information when needed).
Keterbukaan menjadi sangat penting untuk membangun kepercayaan bersama antara
pemerintah dan masyarakat. Pengelola pemerintahan harus mampu memberikan cukup
informasi bagi masyarakat, dan memudahkan akses informasi yang akurat jika
dibutuhkan publik.
Apabila
ditelusuri lebih lanjut dalam sistem norma yang
berlaku sudah terdapat nilai-nilai yang layak dijadikan kode etik bagi
penyelenggaran negara. Sistem norma yang menonjolkan nilai-nilai etika tersebut
antara lain Ketetapan MPR No IV/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan
UU nomor 43 tahun 1999 sebagai perubahan UU nomor 8 tahun 1974 tentang
Kepegawaian.
Di
dalam Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dirumuskan bahwa Etika Kehidupn Berbangsa
adalah rumusan yang besumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat
univesal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasil
sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam
kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengedepankan
kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian,
sikap toleransi, rasa malu, tanggungjawab, menjaga kehormatan serta martabat
diri sebagai warga bangsa, beretika sosial dan budaya, beretika politik dan
pemerintahan, beretika ekonomi dan bisnis, beretika penegakan hukum yang
berkeadilan, beretika keilmuan, dan beretika lingkungan. Etika ini dapat
dijabarkan secara rinci sebagai berikut:
1) Etika sosial dan
budaya (jujur, peduli,
saling memahami, menghargai, mencintai, menolong, dan keteladanan).
2) Etika politik dan
pemerintahan (menuju
pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif ditandai keterbukaan,
tanggungjawab, tanggap, aspiratif, menghargai perbedaan, jujur dalam
persaingan, kesediaan menerima pendapat orang lain, menjunjung tinggi hak asasi
manusia, peduli, siap mundur apabila dirinya melanggar kaidah dan sistem nilai
atau tidak mampu melaksanakan tugas, mendahulukan kepentingan umum, harus
bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, rendah hati, dan
menjadi teladan, toleransi tinggi, tidak pura-pura, tidak arogan, jauh dari
munafik, tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan menghindari
tindakan tidak terpuji).
3) Etika ekonomi dan
bisnis (berjiwa
wirausaha, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, mendorong pemberdayaan
ekonomi, menghindari KKN, tidak diskriminasi, dan berusaha mengentaskan
kemiskinan, berpandangan global).
4) Etika penegakan
hukum yang berkeadilan
(tenang, teratur, taat dan tertib hukum, kepastian hukum, berusaha bertindak
adil dan tidak diskriminatif),
5) Etika keilmuan (menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,
berimtaq dan beriptek, berbudauya kerja produktif, mewujudkan karsa, cipta dan
karya yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, komunikatif,
mendorong budaya baca-tulis-teliti-karya dan berpandangan global).
6) Etika lingkungan (kesadaran menghargai dan melestarikan
lingkungn hidup, penataan ruang, berkelanjutan, berkesinambungan, dan berwawasan
lingkungan (sustainable development).
UU nomor 43 tahun 1999 yang merupakan perubahan UU 8 tahun
1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, mengatur tentang profesionalitas dan
netralitas PNS serta membangun manajemen kepegawaian berbasis kinerja. Di dalam
manajemen ini dikenal kedudukan, kewajiban, hak, manajemen PNS, kebijaksanaan
manajemen, formasi, penilaian prestasi kerja, perpindahan jabatan, pengangkatan
pemindahan, pemberhentian PNS, jiwa korps, kode etik, pendidikan dan pelatihan,
kompetensi, produktivitas, netralitas,
dan kesejahteraan. Unsur-unsur
ini terkandung dalam nilai-nilai dasar budaya kerja aparat negara yang dikenal
sebagai 17 (tujuhbelas) pasang nilai-nilai dasar budaya kerja aparat
negara.
Budaya Kerja adalah
sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas
nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Budaya kerja diharapkan
bermanfaat bagi pribadi aparat negara maupun unit kerjanya, di mana secara
pribadi memberi kesempatan berperan, berprestasi dan aktualisasi diri, dan
dalam kelompok bisa meningkatkan kualitas kinerja kelompok. Sasaran yang ingin
dicapai dalam penerapan dan pengembangan budaya kerja adalah bertumbuhkembangnya
nilai-nilai moral dan budaya kerja produktif aparat negara, meningkatnya
persepsi, pola pikir, pola sikap, pola tindak, dan perilaku aparat negara
sehingga terhindar dari perbuatan KKN, meningkatnya kinerja aparat negara, dan
terbentuknya citra aparat negara dan kepercayaan masyarakat (trust). Ada 17 (tujuhbelas) pasang nilai-nilai dasar budaya kerja yang
diharapkan dapat diterapkan dalam pelaksanaan pekerjaan dan kehidupan
sehari-hari aparat negara. Jika nilai-nilai dasar budaya kerja ini diterapkan,
dilaksanakan, dan diamalkan, niscaya peneyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan tidak mustahil segera mencapai tata pemeritahan yang baik, tercipta
pemerintah yang bersih dan bebas KKN. Sejalan dengan itu, pola pikir, pola
sikap, dan pola tindak, mind-set,
culture-set, management beliefs dan values,
menemukenali karakter dan jati diri masing-masing individu, terus diupayakan
pemahaman dan pengamalannya.
Menurut Prof Drs Komarudin Msi
Staf Ahli Menpan Bidang Sistem Manajemen, Tujuhbelas Pasang Nilai-nilai
Dasar Budaya Kerja Aparatur Negara (Kepmenpan Nomor 25 Tahun 2002), yang dapat digunakan sebagai dasar etika
adalah sebagai berikut:
1.
Komitmen dan Konsisten
terhadap Visi, Misi, dan Tujuan Organisasi, dalam Pelaksanaan Kegiatan
Pemerintahan dan Pembangunan:
a. Keteguhan hati, tekad
yang mantap untuk melakukan dan mewujudkan sesuatu yang diyakini.
b. Ketetapan,
kesesuaian, ketaatan, kemantapan dalam bertindak sesuai visi dan misi.
2. Wewenang dan Tanggungjawab
a. Wewenang: Hak dan
kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
b. Tanggungjawab:kesediaan
menanggung sesuatu. Jika salah, wajib memperbaiki atau dapat dituntut/
diperkarakan.
3. Keikhlasan dan Kejujuran
a. Keikhlasan: Rela
sepenuh hati, dating dari lubuk hati, tidak mengharapkan imbalan atau balas
jasa, semata-mata karena menjalankan tugas/amanah demi Tuhan.
b. Kejujuran: Benar
dalam kata dan perbuatan, berani menolak/melawan kebatilan.
4. Integritas dan
Profesionalisme/Profesionalitas
a. Integritas: Menyatu dengan unit
kerja/system yang ada.
b.
Profesionalisme: Terampil, andal, kompeten, dan bertanggungjawab.
5. Kreativitas dan Kepekaan
(Sensitivitas) terhadap lingkungan tugas
a. Kreativitas: Ide spontan,
iovasi, adopsi, dan difusi.
b.
Kepekaan: Responsif dan proaktif/reaktif.
6. Kepemimpinan dan Keteladanan
a.
Kepemimpinan: Mengarahkan, membimbing, memotivasi, konsisten, dan komunikatif.
b. Keteladanan: Tindakan yang segera memicu/mendorong pihak
lain, berbuat/bertindak agar ditiru, antara lain:iman, taqwa, beriptek, budaya
baca-tulis, belajar terus, integritas, adil, arif, tegas, bertanggungjawab,
ramah, rendah hati, toleran, gembira, silih asah-asih-asuh, sabar, periang dan
tersenyum.
7. Kebersamaan dan Dinamika
Kelompok Kerja
a. Kebersamaan: Suasana
hati bersama, untuk kepentingan bersama.
b. Dinamika Kelompok
Kerja: Tidak bekerja sendiri, tidak egois, dan bekerja terintegrasi.
8. Ketepatan (Keakurasian) dan
Kecepatan
a.
Ketepatan: Mengenai sasaran, mencapai tujuan, teliti, dan bebas kesalahan.
b. Kecepatan: Penggunaan waktu lebih singkat
dan pendek.
9. Rasionalitas dan Kecerdasan
Emosi
a.
Rasionalitas: Berpikir cerdas, obyektif, logis, sistematik, ilmiah, dan
intelektual.
b.
Kecerdasan Emosi: Spontan, kreatif, inovatif, holistik, integratif, dan kooperatif.
10. Keteguhan dan Ketegasan
a. Keteguhan: Kuat dalam berpegang pada aturan,
nilai moral, dan prinsip manajemen.
b. Ketegasan: Sifat, watak, dan tindakan yang
jelas dan tidak ragu-ragu.
11. Disiplin dan Keteraturan
Bekerja
a. Disiplin: Taat aturan, norma, dan prinsip.
b. Keteraturan Bekerja: Perilaku konsisten
mengikuti ketentuan/prosedur.
12. Keberanian dan Kearifan dalam mengambil
Keputusan dan Menangani Konflik
a. Keberanian: Berani menanggung resiko atas
perbuatan yang dilakukan.
b. Kearifan: Menuju pada hal-hal yang
benar/baik.
13. Dedikasi dan Loyalitas
a. Dedikasi: Rela berkorban, mau menyatu dengan
lingkungan.
b. Loyalitas: Mau dan ptuh pada
tindakan/anjuran atasan.
14. Semangat dan Motivasi
a.
Semangat: Daya/energi yang mendorong perilaku ke tingkat tertingi.
b. Motivasi: Merujuk pada tujuan
untuk memenuhi kebutuhan.
15. Ketekunan dan Kesabaran
a. Teliti, rajin, konsisten,
berkelanjutan, dan tidak cepat ke tingkat tertinggi.
b. Merujuk pada tujuan untuk
memenuhi kebutuhan.
16. Keadilan dan Keterbukaan
a. Keadilan: Bekerja ssuai tugas, fungsi,
dan wewenang, dapat membedakan hak dan kewajiban, dan tidak memihak.
b.
Keterbukaan: Tidak ada yan ditutupi (pada norma tertentu), bebas
memeroleh informasi dan menyampaikan
pendapat.
17. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
a. Penguasaan Ilmu
Pengetahuan: Ilmu murni/terapan yang mengajak berbuat obyektif, tidak tahyul, dan menuju
keteraturan.
b. Teknologi: Cara
melaksanakan pekerjaan yang efisien dan efektif, cepat-tepat-pasti, baik dengan
cara sederhana maupun canggih.
Dalam pokok-pokok Pikiran RUU Etika Penyelenggara Negara (RUU
Perilaku Aparat Negara), berisi prinsip, kewajiban, hak, larangan, dan sanksi. RUU
tersebut Mengacu pada Etika Kehidupan Berbangsa dan Ketetapan MPR. Setelah
empat tahun berjalan, pembahasan masih sekitar isi naskah akademis dan konsepsi
tentang etika, moral, dan hukum yang menyangkut sikap dan perilaku aparat
negara. Berdasarkan surat Menpan kepada MenhukHAM bulan Juli 2005, usulan RUU
adalah RUU tentang Penegakan Etika Aparat Negara dan pada bulan Maret-Mei 2006 berkembang lagi
menjadi Etika Aparat Negara, atau Etika Penyelenggara Negara.
Dalam konsep RUU Perilaku
Aparat Negara sudah diakomodir hal-hal yang menjadi rambu-rambu bagi perilaku
aparat negara. Rambu-rambu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip: profesionalisme/profesionalitas, taat dan patuh
terhadap hukum, kemanusiaan yanag adil dan beradab, responsif, akuntabel,
konsistensi, transparansi, persatuan dan kesatuan, keteladanan,kesetraan dan
persamaan.
2. Kewajiban: (1) menghormati, menaati,dan melaksanakan sumpah
jabatan dan pakta integritas; (2) menghormati, menaati, dan melaksanakana
segala ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) menghormati, mentaati dan
melaksanakan kebijakan dan tata tertib yang mengatur tugas, fungsi, kewenangan,
dan peran; (4) memberikan informasi secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif;
(5) menjaga kerahasiaan yang dipercayakan kepadanya; (6) melaporkan harta
kekayan pribadi secara jujur dan benar sesuai peraturan perundang-undangan; (7)
menjaga dan memperhatikan kepentingan umum; dan (8) melaporkan segala
penerimaana cindermata selama memangku jabatan (gratifikasi).
3. Hak: (1) memperoleh perlakuan yng wajar sesuai tugas, fungsi, dan wewenang;
(2) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas; (3) menggunakan hak jawab
terhadap setiap teguran, tindakan dari alasan dan kritik masyarakat; (4)
menyatakan pendapat dimuka umum secara bertanggungjawab sesuai wewenang; dan
(5) mendapatkan pemulihan nama baik.
4. Larangan: (1) membuat pernyatan yang tidak benar, berbohong,
membingungkan atau meresahkan masyarakat; (2) bertindak diskriminatif dan atau
tidak adil dalam memberikan pelayanan publik; (3) mempengaruhi secara langsung
atau tidak langsung proses peradilan; (4) menyalahgunakan jabatan untuk
kepentinan pribadi,keluarga, sanak famili dan atau pihak lain di luar kepentingan
tugas dan wewenang; (5) melakukan rangkap jabatan; (6) menyalahgunakan fasilitas
jabatan; (7) membuat kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang memihak;
(8) menerima imbalan atau hadiah berupa barang atau apa saja yan patut diduga
atau patut diketahui mempunyai kaitan dengan tugas fungsi dan wewenang; dan (9)
menyalahgunakan dokumen negara
5. Sanksi: diberhentikan sementara, diberhentikan,
diturunkan pangkat, ditunda kenaikan pangkat, dan dipecat.
D. Penutup
Dari serangkaian tata nilai
dan norma yang saya kemukakan di atas dapat dijadikan sebagai kode etik dalam
penyelenggaraan negara. Kode etik akan menjadi “profesional standards” ,
atau “right rules of conduct” (aturan
berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh penyelenggara negara atau
administrator publik. Kode etik berisi
atau mengatur hal-hal yang “baik” yang
harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan atau
merupakan tuntunan perilaku (rules of
conduct).
Untuk memperoleh kualitas
aparatur yang profesional, diperlukan Audit Birokrasi, yaitu langkah untuk
menilai kembali semua performa masing-masing aparatur. Apabila tidak memenuhi
standar minimal, maka harus ada langkah amputasi berupa Golden Shakehand, baik berupa pensiun dini maupun cut off birokrasi.. Langkah ini memang tidak populer
dan merupakan pilihan pahit apabila Indonesia akan membangun wajah birokrasi
yang baru. Untuk mewujudkan aparatur yang mempunyai pola pikir dan paradigma
baru birokrasi Indonesia, harus dilakukan pembenahan secara sistematik dengan
mengadopsi seluruh tata nilai dan norma yang melingkupi bekerjanya institusi
birokrasi sebagaimana dipaparkan di atas.
Daftar Pustaka
Agus Dwiyanto, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat
Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta
Bank Dunia, Memerangi Korupsi di Indonesia Memperkuat Akuntabilitas
Untuk kemajuan, World Bank Office,
Oktober 2003
Bertens, K. 2000. Etika.
Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport,
Connecticut: Greenwood Press.
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs.
Sixth Edition. Englewood
Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.
Komarudin, Etika PNS, Modul
Diklat Pengembangan Perilaku Dalam Mencegah Kerugian Negara, Badan Diklat Depdagri,
2006
Siregar, Doli D, Manajemen
Aset, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Suparmoko, M, 2002, Ekonomi
Publik, Andi, Yogyakarta
Yeremias T Keban, 2003, Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi Pelayanan Publik, Bahan Ajar, Badan Diklat Depdagri
Zudan Arif Fakrulloh,
Internalisasi Nilai-Nilai Birokrasi Sebagai Prasyarat Merubah Pola Pikir
Aparatur dalam Menunjang Pelayanan Publik,
Swara Diklat Jatim, Edisi 17 tahun 2006
BIODATA
Prof DR Zudan Arif Fakrulloh, S.H.,MH
lahir di Sleman tanggal 24 Agustus 1969. Program Doktor diselesaikan pada tahun
2001 di Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Menjadi Guru Besar sejak tahun 2004
dalam usia 35 tahun .
Sehari-hari bekerja di Depdagri. Selain
itu menjadi pengajar dan pembimbing tesis dan disertasi di Pascasarjana UI,
UNDIP, UNTAN Pontianak, UNTAG Surabaya, Univ Borobudur jakarta, STIH Iblam,
STIE Stiekubank Semarang dan Pengajar di Badan Diklat Depdagri dan Pemda di
seluruh Indonesia.
Saat ini menjadi mitra kerja untuk Biro Hukum
DKI, Lembaga penerbangan dan antariksa (LAPAN RI), dan beberapa DPRD di
Indonesia dan Tim Pakar Penyusunan RUU BUMD, RUU Bidang Politik, RUU Ibukota
Negara, UU Pemda, RUU Antariksa dan RUU
Pengelolaan Ruang Udara Nasional.
Mengikuti pelatihan dan studi banding di
berbagai negara untuk pengembangan SDM dan Otonomi daerah di Jepang, Singapura,
Malaysia, Belanda dan Belgia.
Email :cclsis@yahoo.com
[1] Di antara lembaga keuangan
internasional yang secara aktif mendorong pengembangan good governance adalah Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, serta
sejumlah lembaga donor seperti CIDA, USAID, dan JICA.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar