BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perkataan,
perbuatan, serta taqrir, nabi
Muhammad Saw. hadits juga merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an tentunya tidak ada permasalahan yang signifikan,
hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan kalam Allah Swt yang diturunkan Allah
untuk nabi Muhammad Saw. berbeda dengan hadits, di dalam memahami hadist
tentunya banyak persoalan yang perlu di kaji, baik dari segi
periwayatannya (sanad) atau pun isi hadits tersebut. Dan hal ini perlu adanya
penelitian di dalam menentukan kualitas hadits yang sahih.
Takhrij Hadits merupakan salah satu metode (cara) untuk mengetahui
jalannya sanad hadits, sehingga kita dapat memahami dari mana hadits tersebut
diriwayatkan. Hal ini agar bisa di ketahui bahwa hadits tersebut datangnya Nabi
Saw. urgensi di dalam mempelajari takhrij hadits juga adalah memberikan
kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadits
adalah hadits maqbul (dapat
diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu
hadist adalah mardud (tertolak).
B.
Rumusan Masalah
- Apa pengertian Takhrij Hadits ?
- Apa saja faktor pendorong munculnya Takhrij Hadits ?
- Bagaimanakah sejarah Takhrij Hadits ?
- Apa Urgensi Takhrij Hadts ?
- Bagaimana metode dan langkah-langkah kegiatan Takhrij Hadits ?
C.
Tujuan Pembahasan
- Agar dapat mengetahui pengertian Takhrij Hadits
- Untuk memahami faktor pendorong munculnya Takhrij Hadits
- Untuk dapat mengetahui sejarah Takhrij Hadits
- Agar dapat memahami urgensi Takhrij Hadits
- Agar dapat mengetahui serta memahami metode dan langkah-langkah kegiatan Takhrij Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Takhrij Hadits
Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang paling mendekati
disini adalah berasal dari Kharaja yang
artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan.
Demikian juga kata al-ikhraj yang
artinya menampakkan dan memperlihatkannya, dan al-makhraj artinya tempat keluar, dan akhraja al-hadits wa kharrajahu artinya menampakkan dan
memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Sedangkan hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Saw baik
berupa, perkataan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum
kenabian atau sesudahnya.[ Secara umum, Takhrij Hadits adalah segala yang menunjukkan tempat hadits pada
sumber aslinya serta yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan
menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Al-Thahhan, di dalam kitabnya Ushul
al-Takhrij, mendefinisikan takhrij hadits adalah: “menunjukkan atau
mengemukakan letak asal Hadits pada sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya
dikemukakan Hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian
manakala diperlukan, dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan”.
Yang dimaksud dengan menunjukkan letak hadits dalam definisi di atas
adalah menyebutkan berbagai kitab yang didalamnya terdapat hadits tersebut.
Seperti hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab Sahih-nya, atau oleh al-Thabrani di
dalam Mu’jam-nya, atau oleh
al-Thabari di dalam Tafsir-nya, atau
kitab-kitab sejenis yang memuat hadits tersebut.
Sedangkan yang dimaksud “sumber-sumber hadits yang asli”, adalah
kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits Nabi Saw yang diperoleh oleh
penulis kitab tersebut dari para gurunya, lengkap dengan sanadnya, sampai
kepada Nabi saw. kitab-kitab tersebut adalah seperti al-Kutub al-Sittah, Muwaththa’
Malik, Musnad Imam Ahmad, dan Kitab
Sunan al-Darimi.
Yang dimaksud dengan “menjelaskan status dan kualitas hadits
tersebut ketika dibutuhkan”, adalah menjelaskan kualitas hadits-hadits tersebut
apakah sahih, hasan, dan dha’if apabila hal tersebut
diperlukan. Oleh karenanya, menjelaskan status dan tingkatan hadits bukanlah
sesuatu yang asasi di dalam takhrij,
namun hanyalah sebagai penyempurna yang akan dijelaskan manakala diperlukan.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa hakikat dari takhrij hadits
adalah: peneslusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab hadits sebagai
sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan
sanadnya.
B.
Faktor pendorong munculnya Takhrij Hadits
Pada abad-abad awal perkembangan ilmu dalam Islam, termasuk ilmu
hadits, apa yang sekarang disebut ‘ilm
ushul at-takhrij belum diperlukan. Dikatakan oleh Mahmud at-Thahhan bahwa
para peminat hadits saat itu dengan mudah merujuk kepada kitab-kitab aslinya,
karena kontak mereka dengan kitab-kitab itu sangat kuat. Keadaan ini berubah
pada abad-abad berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap
kitab-kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan
mengetahui letak hadits pada kitab sumbernya, jika mereka mendapati
hadits-hadits itu dipergunakan sebagai argument penguat dalam disiplin
ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqh, dan sejarah. Dalam kitab-kitab itu
hadits-hadits Nabi dikutib tanpa menyebutkan sumber pengambilanya. Oleh karena
itu bangkitlah kemudian para ulama untuk melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut.
Di antara kitab-kitab takhrij terhadap
hadits-hadits yang dikutip dalam beberapa kitab tanpa sanad adalah:
1)
Nash ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah, oleh
al-Hafiz az-Zaila’iy (762 H)
2)
Takhrij Ahadits al-Kasysyaf, juga
oleh al-Hafiz
Agaknya atas dasar data sejarah inilah Prof. Hasbi ash-Shiddiqy
menegaskan bahwa kegiatan takhrij
hadits setidaknya telah muncul pada abad 8 H. Sebenarnya dapat ditemukan
sebelum itu karya takhrij lain,
yaitu: takhrij al-Muhadzdzab, oleh
Muhammad ibn Musa al-Hazimy. (w. 584).
C. Sejarah Takhrij Hadits
Para sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati bahwa usaha
pelestarian dan pengembangan hadits terbagi dalam dua periode besar yaitu
periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi
lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa
turunnya wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan
tabi’in (40 H – akhir abad I H), masa pembukuan hadits (awal-akhir abad II H),
masa pentashihan dan penyaringan hadits (awal-akhir abad III,) sekitar pada
masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama
al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H). Kalau para
ulama mutaqaddimin menghimpun hadits dengan menemui sendiri para penghafalnya
maka ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab susunan ulama mutaqaddimin.
Masa inilah para ulama mempergunakan system istidrak dan istikhraj. Sehingga
bermunculan kitab-kitab mustadrak dan mustakhraj. Sampai pada abad kelima dan
abad ke tujuh para ulama hanya berusaha untuk memperbaiki susunan kitab,
mengumpulkan hadits Bukhari dan Muslim dalam satu kitab, mempermudah jalan
pengambilannya. Dalam abad ini pula timbul istilah al-Jami’ al-Jawami dan al-Takhrij.
Ilmu hadits baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada masa
al-Qadhi Ibnu Muhammad al-Ramahurmudzi (265-360 H). Selanjutnya diikuti oleh
al-Hakim al-Naisaburi (321-405 H), Abu Bakr al-Baghdadi (463 H). Para ulama
mutaqaddimin menyebutnya dengan ulumul hadits dan ulama mutaakhirin menyebutnya
ilmu musthalahul hadits. Jadi kalau menganalisa kedua uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadits sebagai bagian dari ilmu
hadits.
D.
Urgensi Takhrij Hadits
Takhrij Al-Hadits sebagai sebuah metode dengan memperhatikan
tujuannya, mempunyai banyak sekali manfaat. Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul
Qadir bin Abdul Hadi dalam kitabnya Thuruq
Takhrij Hadits Rasulillah SAW, yang penulis kutip dari buku
terjemahan kitab tersebut, “Metode
Takhrij Hadits”, menjelaskan beberapa manfaat takhrij hadits diantaranya :
- Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits berada, beserta ulama yang meriwayatkannya.
- Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadits-hadits melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.
- Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadits yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’, mu’dal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.
- Takhrij dapat memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayatnya. Terkadang kita dapatkan hadits yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadits yang shahih itu akan mengangkat derajat hukum hadits yang dha’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
- Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
- Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang samar. Karena terkadang kita dapati perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan lain-lain. Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
- Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.
- Takhrij dapat menafikan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadits oleh seorang perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak pula ketersambungan sanadnya.
- Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat
- Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karenan kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
- Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
- Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
- Takhrij dapat menghilangkan suatu “syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat dalam suatu hadits melalui perbandingan suatu riwayat.
- Takhrij dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
- Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
- Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
- Takhrij dapat membedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.
- Takhrij dapat menjelaskan waktu dan tempat kejadian timbulnya suatu hadits.
- Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits. Diantara hadits –hadits ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka “asbab al-wurud” dalam hadits tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.
- Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan sanand yang ada.
Secara singkat takhrij hadits dapat mengumpulkan berbagai sanad dari
sebuah hadits serta mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadits.
Berikut adalah contoh kegunaan dari takhrij hadits :
Lafal sebuah
hadits :
رُوِيَ عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعَبْةَ قَالَ: وَضَأْتُ
النَّبِى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِى غَزْوَةِ تَبُوْكَ فَمَسَحَ
اَعْلَى الْحُفَّيْنِ وَاَسْفَلَهُمَا
Bila kita menggunakan metode takhrij, maka akan tampak hadits di
atas diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah.
Setelah ditakhrij pada masing-masing kitab, maka hadits tersebut lengkapnya
berbunyi :
Menurut riwayat Imam Turmudzi :
حَدَثْنَا اَبُو الْوَلِيدِ اَلدِّمَشْقِىُّ حَدَّثْنَا
الْوَلِيْدُ بْنُ مُسْلِمٍ اَخْبَرَنَا ثَوْرُ بْنُ يَزِيْدَ عَنْ رَحَاءِ
حَيْوَةَ عَنْ كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِ عَنْ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ اَنَّ
النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ اَعْلَى الْحُفِّ وَاَسْفَلِهِ
Menurut riwayat Imam Abu Dawud :
حَدَّثْنَا مُوْسَى بْنُ مَرْوَانَ وَمَحْمُوْدُ بْنُ
خَالِدٍ اَلدِّمَشْقِىُّ اَلْمَعْنَى قَالاَحَدَّثَنَا اَلْوَلِيْدُ – قَالَ
مَحْمُوْدٌ – قَالَ اَخْبَرَنَا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ عَنْ رَحَاءَ بْنِ حَيْوَةَ
عَنْ كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ
وَضَأْتُ النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى غَزْوَةِ تَبُوْكَ فَمَسَحَ
عَلَى الْخُفَّيْنِ وَاَسْفَلِهِمْ
Menurut riwayat Imam Ibnu Majah :
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُمَارٍ, ثَنَا الْوَلِيْدُ بْنُ
مُسْلِمٍ, ثَنَّا ثَوْرُبْنُ يَزِيْدَ, عَنْ رَحَاءَ بْنِ حَيْوَةَ , عَنْ
وَرَّادٍ-كَاتِبِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ-عَنْ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ
اَنَّ الرَّسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْلَى الْحُفِّ
وَاَسْفَالِهِ
Dengan
memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka kita dapat mengetahui :
- Hadits di atas diriwayatkan oleh tiga ulama hadits yaitu Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah.
- Pada riwayat Abu Dawud terdapat nama perawi yang samar, yaitu al-Walid. Riwayat Turmudzi dan riwayat Ibnu Majah menjelaskan nama yang sebenarnya yaitu al-walid bin Muslim.
- Katib Mughirah tidak diketahui nama yang sebenarnya pada riwayat Abu Dawud dan Turmudzi. Pada riwayat Ibnu Majah Katib Mughirah yang dimaksud adalah Warrad. Menurut Ibnu Hazam, Katib Mughirah adalah perawi yang tidak diketahui namanya. Ini karena Ibnu Hazam, mungkin tidak ingat bahwa ada riwayat Ibnu Majah yang menjelaskan nama yang sebenarnya. Warrad diriwayatkan oleh banyak ulama hadits. Ibnu Hibban menggolongkannya pada kelompok tsiqat.
- Setelah Imam Turmudzi meriwayatkan hadits ini, beliau mengatakan bahwa hadits ini adalah ma’lul, karena tidak seorangpun yang meriwayatkan dari Tsaur bin yazid selain Walid bin Muslim. Lalu beliau menanyakannya kepada Abu Zur’ah dan Imam Bukhari. Keduanya mengatakan hadits ini tidak shahih, karena Ibnu Mubarak meriwayatkannya dari Tsaur, dari Roja’ bin Haywah, beliau berkata “saya menerima riwayat dari Katib Mughirah, dari Nabi SAW. Jadi hadits ini mursal, karena Mughirah tidak disebut dalam sanad tersebut.
- Riwayat Abu Dawud menjelaskan sejarah timbulnya hadits ini yaitu pada waktu peperangan Tabuk.[8]
E.
Metode dan Langkah-langkah kegiatan Takhrij Hadits
Di dalam
melakukan takhrij, ada lima metode
yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
1. Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadits
Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadits. Hadits-hadits dengan metode ini dikodifikasi
berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila
akan men-takhrij hadits yang
berbunyi;
لَيْسَ الشَّدِيْدُ
بِالصُرْعَةِ
Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri
penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang
dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan
hadits tersebut terdapat di halaman 2014. Berarti, lafaz yang dicari berada
pada halaman 2014 juz IV.[9]
Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadits yang dicari adalah;
Dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari
kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat
adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang
besar bagi seorang mukharrij untuk
menemukan hadits-hadits yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga
mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz
pertamanya sedikit saja, maka akan sulit unruk menemukan hadits yang dimaksud.
Sebagai contoh ;
اِذاأَتَاكُمْ مَنْ
تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَ خُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
` Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadits tersebut
adalah iza atakum (اِذا اَتَاكُمْ).
Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij
sebagai lafaz pertamanya adalah law
atakum (لَوْ اَتَا كُمْ) atau iza
ja’akum [10](اذاجَاءَكُمْ),
maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan hadits yang sedang
dicari, karena adanya perbedaan lafaz pertamanya, meskipun ketiga lafaz
tersebut mengandung arti yang sama.
2. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadits
Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang
terdapat dalam matan hadits, baik
berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan
huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian haditsnya sehingga pencarian
hadits-hadits yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini
akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadits berdasarkan
lafaz-lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadits
An-Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di dalam
Sembilan kitab induk hadits sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan
Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad.
Contohnya
pencarian hadits berikut;
Dalam pencarian hadits di atas, pada dasarnya dapat ditelusuri
melalui kata-kata naha (نَهَى) ta’am ( طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ) al-mutabariyaini
(المُتَبَارِيَينِ). Akan tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan,
lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini
(المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian
para ulama hadits, penggunaan kata tabara
(تَبَارَى) di dalam kitab induk hadits (yang berjumlah Sembilan) hanya dua
kali.
Penggunaan metode ini dalam mentakhrij
suatu hadits dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut:
Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan
sebagai alatuntuk mencari hadits. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata
yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin
mudah proses pencarian hadits. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk
dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebut dicarilah kata-kata itu di
dalam kitab Mu’jam menurut urutannya
secara abjad (huruf hijaiyah).
Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di
dalam hadits yang akan kita temukan melalui Mu’jam
ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadits yang sedang dicari
dalam bentuk potongan-potongan hadits (tidak lengkap). Mengiringi hadits
tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadits itu yang
dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat
pencarian hadits dan memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja
yang terdapat dalam matan hadits.
Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu
hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus
menggunakan kata-kata lain.
3. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang
meriwayatkan hadits, lalu kita mnecari bantuan dari tiga macam karya hadits
yakni;
- Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
- Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
- Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini
adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawih yang hendak
diteliti itu tidak diketahui.
4. Takhrij Berdasarkan Tema Hadits
Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadits. Oleh karena itu
untuk melakukan takhrij dengan metode
ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadits yang akan ditakhrij dan kemudian baru mencarinya
melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini.
Seringkali suatu hadits memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang
demikian seorang mukharrij harus
mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadits tersebut. Contoh :
Dibangun Islam atas lima
pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu
adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan
Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Hadits diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat,
zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadits diatas harus
dicari didalam kitab-kitab hadits dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak
dibantu dengan kitab Miftah Kunuz
As-Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan
judul-judul pembahasan.
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan
terhadap tema hadits. Untuk itu seorang mukharrij
harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian
fiqih secara khusus.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan
akan kandungan hadits, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafaz pertamanya.
Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila
kandungan hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak
dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.
5. Takhrij Berdasarkan Status Hadits
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para
ulama hadits dalam menyusun hadits-hadits, yaitu penghimpunan hadits
berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses
pencarian hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits qudsi, hadits masyhur,
hadits mursal dan lainnya. Seorang
peneliti hadits dengan membuka kitab-kitab seperti diatas dia telah melakukan takhrij al hadits.[11]
Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar
hadits-hadits yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadits
sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena
cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadits-hadits yang dimuat dalam
karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.
Kitab kitab
yang disusun berdasarkan metode ini :
- Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi.
- Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadits al-Qadsiyyah oleh al-Madani.
- Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Takhrij Hadits adalah segala yang
menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya serta yang mengeluarkan hadits
tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
Al-Thahhan, di
dalam kitabnya Ushul al-Takhrij,
mendefinisikan takhrij hadits adalah: “menunjukkan atau mengemukakan letak asal
Hadits pada sumber-sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan Hadits itu
secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian manakala diperlukan,
dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan”.
- Keadaan ini berubah pada abad-abad berikutnya yang disebabkan oleh berkurangnya itensitas kajian terhadap kitab-kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui letak hadits pada kitab sumbernya, jika mereka mendapati hadits-hadits itu dipergunakan sebagai argument penguat dalam disiplin ilmu-ilmu lain seperti tafsir, fiqh, dan sejarah. Dalam kitab-kitab itu hadits-hadits Nabi dikutip tanpa menyebutkan sumber pengambilanya. Oleh karena itu bangkitlah kemudian para ulama untuk melakukan takhrij terhadap kitab-kitab tersebut.
- Para sejarawan Islam secara berjama’ah menyepakati bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadits terbagi dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa turunnya wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40 H – akhir abad I H), masa pembukuan hadits (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan penyaringan hadits (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul Imam Muslim (w.261 H).
- Secara singkat takhrij hadits dapat mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadits serta mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadits.
- Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
a)
Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan
Hadits
b)
Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan
Hadits
c)
Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat
d)
Takhrij Berdasarkan Tema Hadits
e)
Takhrij Berdasarkan Status Hadits
0 Komentar
Penulisan markup di komentar