Penyelesaian Sengketa Syaria |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992, UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1990
serta UU No. 21 Tahun 2008 sebenarnya sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi
terselenggaranya Perbankan Syariah di Indonesia, walaupun masih ada beberapa
hal yang masih perlu disempurnakan, di antaranya perlunya penyusunan dan
penyempurnaan ketentuan perundang-undangan mengenai operasionalisasi bank
syariah secara tersendiri agar apabila terjadi suatu persengketaan dalam hal
ini hubungannya dengan perbankan syariah dapat teratasi dengan merujuk pada UU
yang berlaku.
Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa
perbankan syariah adalah hendak dibawa ke mana penyelesaiannya, karena
Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi
penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No. 7
Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf dan shadaqoh.
Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya UU No. 50 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang
menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
B. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini yang
menjadi rumusan permasalahan adalah:
1.
Bagaimana pengertian, prinsip dan tujuan
penyelesaian sengketa Syariah?
2.
Bagaimana prosedur penyelesaian sengketa
perbankan syariah di pengadilan agama?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah agar penulis dan pembaca mengetahui bagaimana tata
cara dan prosedur yang diterapkan dalam penyelesaian sengketa perbankan
syariah, selain itu penulisan makalah ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas
perkuliahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Prinsip dan Tujuan Penyelesaian Sengketa
1.
Pengertian
Penyelesaian sengketa atau lebih dikenal
dengan nama Ash-Shulhu berarti memutus pertengkaran atau perselisihan atau
dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk
mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang bersengketa.
2.
Prinsip
Penyelesaian sengketa memiliki prinsip
tersendiri agar masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan dengan benar. Di antara
prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Adil dalam memutuskan perkara sengketa,
tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.
b.
Kekeluargaan
c. Win win solution, menjamin kerahasiaan
sengketa para pihak
d. Menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan
3.
Tujuan
Tujuan diadakannya penyelesaian sengketa ini agar setiap
permasalahan-permasalahan yang ada dalam perbankan dapat terselesaikan dengan
sebagaimana mestinya. Sehingga tidak menimbulkan persengketaan yang berujung
pada ketidakadilan, dalam Islam juga tidak diperbolehkan berselisih yang
berkepanjangan karena dapat menimbulkan persengketaan[1].
B. Landasan Hukum Penyelesaian sengketa
1.
Al-Qur’an terdapat dalam surat Al
Hujurat ayat 9
“Dan jika ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali,
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
2.
Hadits
Hadits riwayat At-Tarmizi, Ibnu Majah,
Al Hakim dan Ibnu Hibban bahwa Rasulullah SAW bersabda, “perjanjian di antara
orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal.” At-Tirmizi dalam hal ini menambahkan muamalah
orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka.
3.
Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka
Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHP) menyatakan, “semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua
belah pihak atau karena alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian
harus dilaksanakan dengan baik”.
C. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama
1.
Penyelesaian Melalui Proses Persidangan
(Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani
setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari
terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya
serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut.
Hal ini perlu dilakukan guna menentukan
arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya.
Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya
sebelum dimulainya proses pemeriksaan di persidangan. Berkaitan dengan hal
tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara
perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu
antara lain yaitu:
a.
Pastikan lebih dahulu perkara tersebut
bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase
Pentingnya memastikan terlebih dahulu
apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan
agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan
kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut
sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan
agama tidak menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang di dalamnya
terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting untuk
diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelum proses pemeriksaan perkara
tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum
mengupayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan
sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tidak perlu lagi
hakim melanjutkannya dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara
tersebut tidak termasuk wewenang absolut lingkungan peradilan agama. Termasuk
dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula
arbitrase adalah jika dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang pada
prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa (disputes)
di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara
melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian
tersebut jelas mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan
agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung
klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah menjatuhkan putusan
negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
b.
Pelajari secara cermat perjanjian (akad)
yang mendasari kerja sama antar para pihak
Setelah dipastikan bahwa perkara
perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan merupakan perkara perjanjian
yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian
bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil, hal
penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian
atau akad yang mendasari kerja sama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat
dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal
1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat maupun hukum
perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production
sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing,
beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain lain yang disebut
dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat[2].
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian
tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan
hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau
pendapat ulama di bidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal
ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus
mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum islam.
2.
Prinsip utama dalam menangani perkara
perbankan syariah
Adapun prinsip utama yang harus
benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah
khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada umumnya bahwa dalam proses
penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan
prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani
dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena
perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008
dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah.
Oleh karena itu, jika terjadi sengketa
berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan
dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsip syariah.
Hal ini penting diingatkan dan dipahami
karena seperti diketahui hukum formil, dan bahkan mungkin sebagian hukum
materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan KUHPerdata, yang akan digunakan
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di lingkungan peradilan agama,
pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk menegakkan dan melindungi
hukum materil islam.
Oleh karena itu, meskipun
ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak yang bertentangan
dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-bagian dari
ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan bertentangan
atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar perbankan
syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan
persoalan baru. Dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di pengadilan
agama, hakim dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini
sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas
Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga
saat ini di kalangan ulama masih kontroversial. Di satu sisi pihak terdapat
ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap
keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba
yang secara qat’I dilarang syara,, sementara hal
mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur
yang mengandung riba itu sendiri. Di pihak lain, terdapat ulama yang mendukung
pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk
menegakkanmaqasid asy-syariah[3]. Berkaitan
dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut
berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak
bertentangan dengan prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru
bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
3.
Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan
Syariah
a.
Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum
Acara Perdata
Apabila upaya penyelesaian melalui
perdamaian tidak berhasil, di mana kedua belah pihak ternyata tidak menemui
kata sepakat untuk menyelesaikan perkaranya secara damai maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18
ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut
akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana
mestinya.
Penyelesaian perkara perbankan syariah
di lingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya,
setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses
pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara
perdata yang dimaksud. Dengan demikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara
tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut
akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di
pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan
penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan
jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik
dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab tersebut
selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap
pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya
guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan di persidangan. Setelah
masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah
kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan
perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan
perkara di persidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil
putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut.
Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut adalah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan
mengkonstituir guna menemukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara
tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.
b.
Sumber-Sumber Hukum Materiil Dalam
Mengadili Perkara Perbankan Syariah
Dalam mengadili perkara, hakim mencari
hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian
diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam perkara
tersebut[4]. Sumber-sumber
hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi
perjanjian, undang-undang,yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional,
dan ilmu pengetahuan[5].
Adapun bagi lingkungan peradilan agama,
sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili
perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber
utama, antara lain adalah:
1.
Isi perjanjian atau akad (agreement)
yang dibuat para pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad,
yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar
dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari kedudukan
perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal
1349 KUHPerdata.
2.
Peraturan Perundang-undangan di bidang
perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang
dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah
antara lain adalah :
ü UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan
ü UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia
ü UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
ü UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
ü PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
ü PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Berdasarkan Prinsip Syariah
ü SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat
deposito
ü SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
ü Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang
berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.
3.
Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi Syariah
Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam
mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan di bidang ekonomi syariah itu
haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu:
a.
Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat
tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang lama (longa et invetarata
consuetindo)
b.
Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan
hukum masyarakat (opinion necessitates); dan
Apabila kebiasaan di bidang ekonomi
syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum
sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.
4.
Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di
Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN yang dapat dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara
perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan
syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk
pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik yang umumnya merupakan respons
atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa memang tidak
memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih lebih terhadap
pihak lain. Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di pengadilan
agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya mempunyai kedudukan
dan perlu diperlakukan tersendiri.
5.
Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan
sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini
adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat
banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung,
atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap,
khususnya di bidang Perbankan syariah.
6.
Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah
tersebut adlah pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang terdapat dalam
kitab kitab fikih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilihat dari penjelasan di atas bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan
Syariah, khususnya Bank Syariah yang mendasari prinsip operasionalnya
berdasarkan syariah Islam, maka pemberlakuan hukum Syariah melekat pada lembaga
tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga
berbeda dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Sehingga
pemerintah mengeluarkan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan UU Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan
Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang
ekonomi Syariah.
Namun demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih
mengedepankan menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi
sengketa. Melalui upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan
persaudaraan yang ada dapat tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan
baik di antara para pihak, serta dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya.
Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru para pihak dapat
menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur negosiasi, mediasi, arbitrase, serta
litigasi melalui pengadilan sebagai the last resort yang dapat ditempuh
oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.
B. Saran
Penulis sadar bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan mungkin kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap kepada pembaca
agar bersedia memberi masukan dan kritik yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Gofur, Perbankan
Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009.
Antonio, Muhammad Syafii, Bank
Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2005.
Hendi, Suhendi, Fiqh Muamalat,
Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002.
HS, Salim, Hukum Kontrak : Teori Dan
Tehnik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba
Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah, Yogyakarta: Politea
Press, 2008.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum
Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Perwataatmadja Karnaen, Bank Dan
Asuransi Islam Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Taufik, Nadhariyyatu Al-Uqud
Al-Syar’iyah, Yogyakarta: LKis, 2007.
[1]
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalat,
(Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hlm. 34.
[2]
Salim HS, Hukum
Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm. 7.
[3]
Maftukhatusolikhah
dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah, (Yogyakarta:
Politea Press, 2008), hlm. 6.
[4]
Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1999),
hlm. 167.
[5]
Taufik, Nadhariyyatu
Al-Uqud Al-Syar’iyah, (Yogyakarta: LKis, 2007), hlm. 95.
[6]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum Suatu ..., hlm. 99.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar