Islam sebagai teology pembebasan
“Islam adalah Agama yang
realistis dan mencintai alam, kekuatan, keindahan, kelimpahan, kemajuan, dan
keterpenuhan segala kebutuhan manusia”.
Ali Syari’ati
Akar pokok Agama Islam
adalah Tauhid atau pernyataan monoteistis bahwa Allah itu Esa. menurut
Syari’ati, Tauhid juga merupakan pandangan dunia yang melihat seluruh dunia
sebagai sistem yang utuh-menyeluruh, harmonis, hidup, dan sadar diri, yang
melampaui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan Ilahi yang sama.
Dalam dataran
historis-empiris, Islam hadir ditengah-tengah masyarakat yang kacau, yang
ditandai dengan manipisnya penghargaan manusia pada nilai-nilai kemanusiaan
mereka sendiri. Kehadiran Islam di bumi Arab pada satu sisi merupakan risalah
pentauhidan, pengesaan Tuhan sebagai sesembahan Tunggal. Risalah pentauhidan
ini disampaikan oleh seorang manusia sempurna, Muhammad kepada masyarakat Arab
Jahiliyah yang telah menciptakan objek sesembahan baru berupa patung-patung
berhala seperti Latta dan Uzza. Di sisi lainnya, kehadiran Islam di tengah
masyarakat Arab Jahiliyah juga diyakini sebagai awal lahirnya risalah
pembebasan manusia dari ketertindasan, kebodohan, perbudakan dan diskriminasi
struktur sosial di masyarakat Arab Jahiliyah. Islam sebenarnya hadir mengajak ummatnya
untuk tunduk kepada Allah dan didorong untuk memberontak melawan penindasan,
ketidak-adilan, kebodohan, serta ketiadaan persamaan (ketimpangan).
Konteks kesejarahan pada
waktu Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul, adalah dengan suasana dan keyakinan
politheistik yang mengabaikan arti kemanusiaan. Nabi muhammad hadir untuk
membawakan kembali ajaran tauhid. Ajaran tauhid yang dibawa itu merupakan
pernyataan yang menegasikan segala bentuk politheisme atau kemusyrikan, bukan
hanya pada tataran ritualistik yang lebih berdimensi
personal belaka, seperti menyembah berhala, patung, api, dan sebagainya; tetapi
juga pada bentuk kemusyrikan sosial dan politik, seperti memaha-agungkan
dan memuja kepentingan-kepentingan pribadi, golongan, etnis dan sebagainya.
Hal ini bukanlah sekedar
pernyataan verbal individual semata, melainkan juga seruan untuk menjadikan keesaan
itu sebagai basis utama pembentukan tatanan sosial-poliitik-kebudayaan. Pada
dimensi individual, tauhid berarti pembebasan manusia dari sifat-sifat
individualistik serta pembebasan dari segala bentuk belenggu perbudakan dalam
arti yang luas, yaitu; perbudakan manusia atas manusia, perbudakan diri
terhadap benda-benda dan perbudakan diri terhadap segala bentuk
kesenangan-kesenangan pribadi, kebanggan dan kesombongan diri dihadapan orang
lain serta hal-hal lain yang menjadi kecenderungan egoistik manusia.
Islam berarti sebagai
ketundukan kepada prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, cinta, dan
prinsip-prinsip lain yang melandasi berdirinya suatu komunitas yang bebas dan
setara. Islam bukanlah hanya sebuah ide baku atau suatu sistem ritual-ritual,
upacara-upacara dan lembaga-lembaga yang kaku belaka, melainkan suatu prinsip
progresif yang selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama yang sudah tidak sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat, memelihara segala sesuatu yang masih
relevan serta merevisi dan merenovasi dengan menghadirkan hal-hal baru yang
lebih maslahat dan manfaat. Musa menghapus tatanan sosial
yang dibangun Ibrahim. Isa mencabut tatanan ekonomi Musa. Muhammad SAW
menghapus lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang dibangun oleh nabi-nabi
sebelumnya. Tetapi semuanya saling menegaskan kebenaran satu sama lain.
Kebenarannya adalah bahwa semua manusia adalah setara. Mereka harus jujur, berkata
benar, dan berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat, diskriminasi, penindasan,
dan kepalsuan. Lembaga-lembaganya boleh berubah, adat-istiadatnya juga boleh
bervariasi, tetapi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan tetap
tinggal sebagai prinsip-prinsip masyarakat yang bebas, adil, dan egaliter.
“Jika Musa jadi pembebas bangsa Israel,
maka Muhammad SAW adalah pembebas bagi
seluruh umat manusia”
Makna pembebasan dan pertanggungjawaban
individual tersebut pada gilirannya memberikan refleksi pada relasi-relasi
sosial kemanusiaan universal. Tauhid merupakan pernyataan yang bermakna
pembebasan diri dari dan penolakan terhadap pandangan dan sikap-sikap tiranik
manusia terhadap penindasan manusia atas manusia yang lain untuk dan atas nama
kekuatan, kepemilikan dan keunggulan kultural apapun. Afirmasi teologis tauhid,
sekali lagi, sejatinya merupakan upaya-upaya pembentukan tatanan sosial politik yang
didasarkan atas kesatuan moralitas kemanusiaan yang melintasi batas-batas
kultural dan ideologis.
Islam merupakan sebuah teologi pembebasan yang membumi dan humanis, dari Tuhan
untuk manusia penghuni bumi. Teologi pembebasan menemukan momentumnya,
khususnya ketika marak dan gencarnya pemberantasan kemiskinan dan
keterbelakangan ditanah air maupun dibelahan dunia ketiga umumnya. Dalam momen
itulah Teologi alternatif diperlukan, yaitu Teologi Pembebasan, teologi populis atau teologi padanan
lainnya sebagai antitesis Teologi Elitis, rumit, dan melangit. Teologi yang
dibutuhkan pada masa kini adalah Teologi
yang membumi, yang mampu mendobrak supremasi tirani dan rezim lalim,
mengenyahkan belenggu-belenggu kebebasan, mengejar berbagai ketertinggalan,
mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan. Pesan Teologi tersebut
sangat luhur, humanis, dan mulia.
Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer,
1.
Pertama, tidak menginginkan status qou yang melindungi golongan
kaya ketika berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, Teologi
Pembebasan bersifat anti kemapanan, apakah kemapanan religius ataupun kemapanan
politik.
2.
Kedua, Teologi Pembebasan
memainkan peran dalam membela kelompok tertindas (kaum mustadl’afin) serta
memperjuangkan kepentingan kelompok ini
dengan cara membekali senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang
menindasnya.
Dalam konteks
keindonesiaan, menurut Abad Badruzaman, solusi Al-Qur’an atas problematika
kemiskinan, krisis ekonomi tidak akan dapat diaplikasikan dengan baik apabila
pemerintah tidak mengambil bagian di dalamnya. Bagaimanapun, problematika yang
begitu komplek di negeri ini mewajibkan seluruh elemen, baik pemerintah maupun
rakyat untuk selalu menjalin kerjasama dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Relevansinya bertemali dengan seruan Al-Qur’an yang memerintahkan kepada rakyat
suatu Negara untuk selalu mentaati perintah penguasa selama dalam konteks
kebenaran. Namun, solusi yang diberikan Al-Qur’an tidak akan berjalan efektif
selama kedua elemen tersebut ; penguasa dan rakyat, tidak pernah menemukan
titik temu. Penguasa bertindak lalim dengan mengkorupsi uang rakyatnya,
sementara itu rakyatnya akan terus membangkang dan tetap hidup dalam jerat
kemiskinan.
Untuk itulah kita sebagai
pemegang tali estafet perjuangan bangsa harus senantiasa mengawal dan
mengontrol segala kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Kalau
memang dinilai tidak memihak rakyat, kita harus berani berada pada barisan
depan untuk menyuarakan Tidak pada penguasa yang lalim
tersebut.
Tangan terkepal dan maju ke muka….!!!
Islam
dan Pembebasan Menurut Asghar Ali Engineer
24 July 2013
PADA 14 Mei, 2013,
dunia Islam kehilangan salah satu putra terbaiknya, Asghar Ali Engineer,
penulis dan aktivis Islam progresif asal India, yang menghembuskan napas
terakhirnya. Sebagaimana kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama,
begitupun juga Engineer. Pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi
Islam dan gerakan progresif ini, meninggalkan begitu banyak buah pemikiran yang
membahas berbagai topik: dari sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik
etnis dan komunal, analisa gender, studi pembangunan dan masih banyak lagi.
Sebagai bagian dari apresiasi atas kontribusi Asghar Ali Engineer yang begitu
besar bagi dunia Islam, negara-negara dunia ketiga, dan gerakan progresif pada
umumnya, tulisan ini didedikasikan untuk mengulas pemikiran-pemikiran Engineer
dan relevansinya di masa kini.
Dikarenakan banyaknya
jumlah dan luasnya cakupan karya-karya Engineer, adalah mustahil untuk
membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan fokus kepada beberapa
tema utama dalam pemikiran Engineer, yaitu sejarah Islam, teologi pembebasan,
negara dan masyarakat dan studi konflik komunal.
Sekilas tentang Asghar
Ali Engineer
Asghar Ali Engineer
lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh Qurban
Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim Dawoodi Bohra, sebuah cabang
dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah. Komunitas Dawoodi Bohra pada masa
awal perkembangannya sempat mengalami persekusi baik dari komunitas Sunni
maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian mereka bermigrasi ke India dan aktif
dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek komunitas dan filantropis, seperti
pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan dan fasilitas umum lainnya, seminar
dan berbagai program pendidikan komunitas, serta promosi kesenian dan
arsitektur Islam. Dalam konteks inilah Engineer tumbuh. Sedari kecil, Engineer
juga menekuni studi Islam dari berbagai aspeknya.
Sebelum memfokuskan
dirinya pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer berprofesi sebagai
insinyur di kota Mumbai selama 20 tahun. Kebetulan, sewaktu kuliah, ia
mengambil jurusan teknik sipil di Universitas Vikram. Latar belakang inilah
yang menyebabkan ia mendapat julukan ‘Engineer.’ Selama karirnya, ia mendirikan
dan mengepalai sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide
progresif, seperti Institute of Islamic
Studies, Center for Study of Society and Secularism dan Asian Muslim Action Network, dan menjadi editor sejumlah jurnal seperti Indian Journal of Secularism, Islam and Modern
Age danSecular
Perspective. Tidak hanya itu,
Engineer adalah seorang pemikir yang amat produktif, menulis lebih dari 50 buku
dan ratusan artikel lainnya, baik populer maupun ilmiah. Semasa hidupnya, ia
juga aktif mempromosikan penghargaan atas keberagaman masyarakat di India. Atas
dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood Award pada tahun 2004, yang juga disebut sebagai
hadiah Nobel alternatif.
Islam dan Teologi
Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer
Dalam kajian sejarah
Islam dan teologi pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer
dalam salah satu karyanya Islam and Its
Relevance to Our Age (1987). Di sini,
sebagaimana diungkapkan oleh para pengkaji karya Engineer dan Engineer sendiri,
kita juga dapat melihat pengaruh Marxisme dalam analisa Engineer mengenai
sejarah Islam dan konsepsinya tentang teologi pembebasan. Menurut Engineer,
kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah momen yang revolusioner.
Perlu diingat, bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam masyarat Arab pra-Islam
waktu itu: di satu sisi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi
kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun, di sisi lain, terdapat perbagai
penindasan atas berbagai kelompok dalam masyarakat tersebut – seperti
perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang revolusioner dari ajaran Nabi
Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan atas
tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat),
kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan),
ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh
sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama
(dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan revolusioner yang universal
dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks sosial masyarakat Arab
pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya, dilakukan secara gradual.
Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan yang menarik dari Engineer:
ada unsur teologis dan transedental dari sejarah munculnya Islam, namun ia
tidak menegasikan atau menafikan peranan manusia dalam membuat sejarah itu.
Pembacaan ‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga mempengaruhi rumusan
Engineer mengenai teologi pembebasan. Engineer memulai pembahasannya mengenai
sejarah sosial berbagai variasi teologi pembebasan dalam Islam. Saya
menyebutnya sebagai ‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya membahas
pemikiran berbagai aliran teologis dalam Islam namun juga berusaha
mengaitkannya dengan konteks sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut
muncul. Sejumlah aliran teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah
Mu’tazilah, Qaramitah dan Khawarij.
Alirah Mu’tazilah
muncul di masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang menantang Kekhalifan
Umayyah yang mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah
mendapat dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama kelompok-kelompok
non-Arab, dan ‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok Persia. Karenanya,
di masa awal perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim pemerintahannya
cenderung lebih terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia diakomodir dalam
kekuasaan, penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India
dipromosikan dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir. Dalam konteks
inilah, aliran Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional dan peranan
usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan nasibnya (Qadariyah),
muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan Abbasiyah mulai bersifat opresif dan
mempersekusi lawan-lawan politiknya, aliran Mu’tazilah kemudian dijadikan
dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham teologi resmi negara oleh Khalifah
Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau mengkritisi beberapa ajaran dari
Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun juga ‘pembangkang’ terhadap
pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri Mazhab Hambali, bahkan tidak
luput dari hukuman ini.
Aliran Qaramitah juga
muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan Umayyah. Aliran Qaramitah
berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah, yang juga terpengaruh oleh
ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani dalam
perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap melanjutkan
perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakkan tendensi
opresifnya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili kemudian mendirikan
Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan Fatimiyah, memberi justifikasi terhadap
politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari kelompok
Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan melawan baik
Kekhalifahan Abbasiyah maupun Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan, aliran Qaramitah
berusaha menghapuskan kepemilikan pribadi dan mengorganisir berbagai komune.
Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan anggota dari aliran
Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan Abbasiyah dengan tuduhan
konspirasi untuk menjatuhkan rejim.
Aliran Khawarij, yang
awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam, Ali bin Abi Thalib, yang
kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya ‘tidak ada hukum kecuali
hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok Islam lain di luar
mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas dari perkembangannya di
kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij sesungguhnya merupakan
ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum ‘proletariat internal’ dalam
Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi krisis kepemimpinan dalam
masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud Isma’il, menurut Engineer,
aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya mempromosikan semangat keadilan
kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik seputar kepemimpinan
atas masyarakat Muslim.
Singkat kata, dalam
eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial teologi pembebasan
dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan kesinambungan sejarah teologi pembebasan dari
masa awal Islam hingga sekarang. Kedua, pembacaan ‘materialis’
dan ‘sejarah sosial’ atas masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi
ide-ide egalitarian dalam Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa
memahami konteks sejarah ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan
atas aliran Mu’tazilah yang rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam
satu tarikan napas. Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian
menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan
antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama
harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang
egaliter dan bebas dari eksploitasi.
Isu-isu Kontemporer
dalam Pandangan Asghar Ali Engineer
Sebagai aktivis
sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai mempelajari isu-isu kontemporer
seperti hubungan agama-negara, hak-hak perempuan dan kaum minoritas, isu-isu
pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil, Engineer sendiri sempat
mengalami diskriminasi sebagai seorang Muslim. Agaknya, pengalaman itu juga
yang membentuk pandangan Engineer mengenai berbagai isu kontemporer. Benang
merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isu-isu tersebut adalah
pentingnya menghindari esensialisme alias kecenderungan untuk melihat fenomena
sosial sebagai kesatuan yang monolitik.
Dalam tulisannya
tentang hak-hak perempuan dalam Islam (2006), Engineer menyadari bahwa
ada diskriminasi dan marginalisasi atas hak-hak perempuan dalam masyarakat
Islam. Namun, Engineer juga berhati-hati di sini: patriarkhi dan pengekangan
hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang melekat pada masyarakat
Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya, melainkan patriarkhinya yang
bermasalah. Patriarkhi, menurut Engineer, terjadi karena kenyataan sosiologis
dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep atau doktrin teologis
(hlm. 166). Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam analisanya mengenai
hubungan agama-negara (2009). Engineer mengingatkan bahwa institusi keagaaman
bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas dari berbagai
kepentingan ‘duniawi.’ Engineer juga menyerukan pentingnya ‘mengembangkan
kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam sejarah kaum Muslim’ (hlm. 117).
Karenanya, meskipun Engineer mempromosikan nilai-nilai agama dalam bentuknya
yang paling spiritual sekaligus paling progresif, ia juga kritikus terdepan
atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama, baik di negerinya
sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperti
Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan agama-negara dan hak-hak kaum
minoritas mengingatkan saya atas ide ‘toleransi kembar’ (twin tolerations)
yang dipromosikan oleh Alfred Stepan (2000), yaitu ada perbedaan antara
otoritas keagamaan dan politik sekaligus kebebasan bagi otoritas keagamaan
untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi pengikutnya tanpa memegang kekuasaan
politik secara langsung. Agaknya, posisi Engineer tidaklah jauh berbeda dengan
ide ini.
Bidang lain yang
sangat ditekuni oleh Engineer adalah studi konflik dan hubungan antar etnis.
Engineer tidak hanya menulis artikel reguler di harian Economic and Political Weekly mengenai kondisi hubungan antar etnis di
India, namun juga melakukan studi yang mendalam atas berbagai komunitas
minoritas termasuk komunitas Muslim di India. Dalam studi-studinya, Engineer
berusaha memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang ilmuan. Pertama, ia berusaha menggabungkan metode-metode sejarah dan antropologis
dalam berbagai studinya tentang kelompok minoritas. Kedua, dalam melakukan studinya ia berkolaborasi dengan berbagai
institusi dan ilmuwan-aktivis yang lain. Ketiga, studi yang mendalam
ini juga dijadikan ‘senjata’ bagi Engineer untuk mempromosikan harmoni,
toleransi dan pengertian dalam hubungan antar etnis. Prinsip-prinsip ini
dapat dilihat misalnya dalam studinya tentang komunitas Muslim di Gujarat
(1989). Sekali lagi, benang merah yang menyatukan berbagai studi Engineer
tentang komunitas Muslim dan minoritas adalah pandangannya yang anti-esensialis:
Engineer menunjukkan bahwa terdapat keberagaman yang begitu luar biasa dalam
komunitas Muslim, dan, komunitas Muslim tidaklah kurang kadar ‘keIndiaan’nya
dibandingkan komunitas dan kelompok etnis yang lain.
Bukan kebetulan jika
Engineer juga mendukung ‘nasionalisme campuran’ alih-alih nasionalisme Muslim
ala Liga Muslim yang dipandangnya agak sektarian. Ia menyatakan kekagumannya
terhadap Jami’atul Ulama ‘il-Hindi, sebuah organisasi Muslim yang mendukung
perjuangan kemerdekaan India dan integrasi masyarakat Muslim ke dalam
masyarakat India (2009).
Terakhir, Engineer
juga merupakan seorang kritik atas praktek-praktek pembangunan yang
eksploitatif. Ia misalnya, mengkritik rejim Jendral Zia-ul-Haq di Pakistan yang
mempromosikan ‘Islamisasi’ dalam artiannya yang sempit namun menolak
program-program nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis, reformasi
pertanahan dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat redistribusionis. Di
India, secara konsisten ia juga menolak politik sayap kanan yang dipromosikan
oleh Partai BJP yang mempromosikan fundamentalisme Hindu di satu sisi dan
kebijakan neoliberal di sisi lain.
Penutup: Engineer dan
Kita
Melihat kiprah Asghar
Ali Engineer, kiranya tak berlebihan apabila kita memberinya label ini:
intelektual organik.
Dedikasi dan komitmen
Engineer tentu bukan tanpa resiko. Beberapa kali ia mendapat ancaman dan kritik
dari lawan-lawannya dan mereka yang tidak menyukai gagasannya. Namun, ia tetap
menulis, bekerja dan melawan.
Ketika nasib
masyarakat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para intelektual hanya
doyan berdiskusi, warisan Engineer terasa semakin relevan.
Selamat Jalan, Dr.
Engineer. Di tengah-tengah bulan puasa ini, sosoknya menjadi pengingat bagi
kita semua: ia tidak menghamba, mengawang-ngawang, maupun mendakik-dakik.***
*Penulis berterima
kasih kepada rekan Dani Muhtada atas masukan dan diskusinya tentang karya-karya
Asghar Ali Engineer.
Iqra Anugrah, Mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University,
AS. Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc.
Kepustakaan
Engineer, A. A.
(1987). Islam and Its
Relevance to Our Age. Kuala Lumpur: Ikraq.
Engineer, A. A.
(1989). The Muslim Communities
of Gujarat. Delhi: Ajanta
Publications.
Engineer, A. A.
(2006). The Rights of Women in Islam. In A. I. Alwee, & M. I. Taib, Islam, Religion and Progress: Critical
Perspective (pp. 161-177).
Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd.
Engineer, A. A.
(2009). Governance and Religion: An Islamic Point of View. In C. Muzaffar,Religion
and Governance (pp. 109-119).
Selangor Darul Ehsan: Arah Publications.
Engineer, A. A.
(2009). Islam dan Pluralisme. In D. Effendi, Islam dan Pluralisme Agama (pp. 25-41). Yogyakarta : Interfidei.
Stepan, A. C. (2000).
Religion, Democracy, and the “Twin Tolerations”. Journal of Democracy, 11 (4), 37-57.
Bapak Sosialisme Karl Marx
mengatakan bahwa agama itu adalah candu. Namun kita jangan salah
tafsiran mengenai kata candu dari apa yang disampaikan oleh Marx. Agama
dikatakan candu apabila ada relasi antara kekuasaan dengan agama, hal ini
menyebabkan timbulnya ketidak bebasan individu dalam ruang sosial, politik dan
ekonomi yang dilegitimasi oleh agama. Pernyataan Marx muncul ditengah-tengah
relasi yang kuat antara agama dengan kekuasaan di eropa silam. Kekuasaan
gereja katolik pada masa itu turut mendukung pengambilan keputusan
penguasa yang cenderung merugikan rakyat, bahkan tak jarang gereja mengeluarkan
fatwa/keputusan yang terkait dengan kepentingan penguasa yang berdampak pada
kesengsaraan rakyat.
Hal-hal tersebutlah yang melatar belakangi penyataan seorang Filusof asal Jerman yang lewat pemikiran-pemikirannya menjadi salah satu kutub pergerakan dunia hingga saat ini. Marx bukan berarti anti agama, namun menyaksikan realitas agama yang tunduk di dalam jepitan ketiak penguasa dan ikut menambah kesengsaraan masyarakat maka Marx berkesimpulan bahwa agama adalah candu.
Pada sekitar tahun 1960-an, di daerah amerika latin muncul pergerakan keagamaan (kristen) yang berani menentang kekuasaan melalui perantara ayat-ayat dari kitab suci. Gerakan yang salah satunya diawali oleh pemuka agama kristiani asal Peru, Gustavo Gutierrez ini. Mencoba untuk menciptakan paradigma baru dalam beragama, dengan buku nya yang berjudul Liberation Theology-persective. Gustavo mengguncang dunia kegerejaan internasional, lebih jauh, ajaran yang mengajak untuk melawan tirani yang alim ini dibubuhi cap sesat oleh kalangan gereja Vatikan sebagai poros utama dunia kegerejaan.
Teologi Pembebasan seakan memberikan asa bagi para pemeluk agama yang teralienasi dari kejamnya kehidupan, mereka hidup miskin, sengsara, dan tak bisa mendapatkan hak-haknya secara penuh. Orang-orang dari golongan ini biasanya muncul dari kalangan buruh, petani, pengemis, gelandangan, dan lain-lain. Dengan mengadopsi teori-teori Marxis Ajaran ini selanjutnya menjadi sub kultur baru dalam lingkungan keagamaan kristiani dengan menyebut diri mereka sebagai golongan kristen kiri. Maka terminologi teologi pembebasan yang muncul sekitar awal tahun 60-an ini seakan menjadi sebuah anti-tesis atas pernyataan Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, hingga gerakan ini menjadi salah satu gerakan yang ditakuti oleh penguasa, oleh karenanya seringkali gerakan keagamaan menjadi salah satu prioritas penguasa dalam meredam keberadaan gerakan ini agar tidak mengancam status quo.
Teologi Pembebasan dalam Islam
Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan islam? Apakah ajaran teologi pembebasan ada di dalam tubuh islam?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita kembali melihat sejarah perjuangan Muhammad dalam menyebarkan agama islam di Mekkah.
Muhammad lahir ditengah-tengah memburuknya situasi sosial, ekonomi dan politik di Mekkah. Semangat barbarianisme, serta kesukuan yang menjadi dasar berprilaku masyarakat arab pada waktu itu senantiasa mempertontonkan ha-hal yang diluar batas kemanusiaan. buruh tak dibayar, budak diperjual-belikan, perempuan dapat diperjual belikan maupun ditukar bila ada yang berkenan, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena menjatuhkan martabat keluarga.
Potret realitas masyarakat arab diatas seakan menjelaskan bahwa Muhammad punya tugas berat dalam memberangus penindasan dan keserakahan. Kemuadian pada usianya yang menginjak 40 tahun Muhammad diangakat menjadi Nabi dan menggemparkan seisi kota Mekkah dengan aksi-aksinya. Muhammad menyerukan untuk menghormati perembuan, membayar budak sebelum kering keringatnya (hadis), melarang memperjual belikan manusia, serta meredam semangat kesukuan, karena manusia adalah sama (equal) di mata Tuhan dan yang membedakan nya hanyalah ketakwaannya. Oleh karenanya ahli hukum dari Sudan Abdullahi Ahmed An-Na’im mengatakan bahwa, dalam memandang persoalan kemanusiaan sebaiknya umat islam kembali merujuk kepada ayat-ayat Makkiyah, dan meninggalkan ayat-ayat madaniyah, karena menurut An-Na’im, ayat Madaniyah menggambar kan psosisi kemapanan umat islam, sehingga secara praksis cenderung ada unsur keegoisan karena hanya mementingkan diri umat islam saja.
Ashgar Ali Engineer menjelaskan bahwa islam memiliki beberapa tujuan dasar, diantaranya, Persamaan (equality), Persaudaraan yang universal (universal brotherhood) dan keadilan sosial (social justice). Selanjutnya ia beranggapan bahwa hal-hal tersebut lah yang menjadi nilai-nilai dasar dalam islam. Nilai tersebut akan tetap selalu ada, tidak dapat berubah karena seperti itulah kehendak yang diinginkan Tuhan melalui Al-Qur’an.
Di Indonesia kita mengenal nama H. M. Misbach. Tokoh Sarekat Islam ini juga menjadi salah satu penggerak kaum ploletar pada masa penjajahan belanda. Seorang salih yang berasal dari keturunan keraton Surakarta ini secara tegas dan lantang menolak feodalisme di negara kita.Tokoh yang terkenal dengan jargonnya “Belum Islam kalau belum Sosialis” ini juga terlibat dalam aksi pemogokan buruh beberapa kali, dan ia semakin dikenal dengan tulisan-tulisannya pada harian Medan Moeslimin, yang sangat provokatif dan memberikan semangat perlawanan terhadap kolonial belanda. Misbach yang juga ikut kecewa terhadap kebijakan-kebijakan Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto ini, bersama Semaoen membangun Sarekat Islam Merah (SI Merah) yang selanjutnya berubah menjadi Partai Komunis Indonesia. Walaupun Misbach berada dalam PKI, namun keistiqomahannya dalam membela kaum-kaum tertindas tetap terjagi hingga akhir hayatnya. Misbach dibuang pemerintah Belanda ke Manokwari dan wafat disana.
Dewasa ini kita sulit sekali temukan teolog-teolog yang punya keberpihakan terhadap kaum-kaum tertindas, bahkan yang sering kita jumpai teolog masa sekarang justru mendukung status quo dengan fatwa-fatwanya, sebut saja MUI yang belakangan ini pernah mengeluarkan fatwa haramnya premium bersubsidi. Ini jelas memperlihatkan bahwa kini fatwa telah menjadi alat dalam mendukung program pemerintah.
Para pemuka agama juga cenderung sangat ritualis, dogmatis dan bersifat metafisis yang membingungkan. Asghar Ali Engineer menyebutkan bahwa dengan wajah yang seperti ini, agama sama saja dengan mistik dan menghipnotis masyarakat. teologi hanya berupa seikat ritual yang tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas dan para pekerja kasar serta menjadi latihan intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Disadari atau tanpa disadari fiqh klasik yang dirumuskan oleh ulama dari dinasti Umayyah, Abasyiah, dsb. Juga mendukung kemandekan proses berpikir kritis umat islam, belum lagi banyak beredar hadis dan fatwa yang disinyalir palsu karena mendukung pemerintah secara penuh. Umat dijebak dan sengaja dinyamankan dengan ritual-ritual keagamaan dengan janji-janji surga sedangkan ia tak menyadari di sisi lain terdapat sekelompok manusia yang ditindas, direbut hak-haknya, dan hidup dalam kesengsaraan.
Umat islam harusnya menyadari realita ini. Tapi kita tetap saja terjebak dalam dogma-dogma klasisk, sehingga ujung-ujungnya pemikiran seperti ini disebut “kiri”, “Komunis”, atau lainnya. Alasan yang sengaja dibuat-buat, karena sejatinya watak-watak penindas telah tertanam dalam kepribadiannya sehingga wajar saja apabila Marx mengatakan bahwa Agama itu adalah candu masyarakat!!
Gusti Fadhil
Mahasiswa Syari’ah FIAI UII
Hal-hal tersebutlah yang melatar belakangi penyataan seorang Filusof asal Jerman yang lewat pemikiran-pemikirannya menjadi salah satu kutub pergerakan dunia hingga saat ini. Marx bukan berarti anti agama, namun menyaksikan realitas agama yang tunduk di dalam jepitan ketiak penguasa dan ikut menambah kesengsaraan masyarakat maka Marx berkesimpulan bahwa agama adalah candu.
Pada sekitar tahun 1960-an, di daerah amerika latin muncul pergerakan keagamaan (kristen) yang berani menentang kekuasaan melalui perantara ayat-ayat dari kitab suci. Gerakan yang salah satunya diawali oleh pemuka agama kristiani asal Peru, Gustavo Gutierrez ini. Mencoba untuk menciptakan paradigma baru dalam beragama, dengan buku nya yang berjudul Liberation Theology-persective. Gustavo mengguncang dunia kegerejaan internasional, lebih jauh, ajaran yang mengajak untuk melawan tirani yang alim ini dibubuhi cap sesat oleh kalangan gereja Vatikan sebagai poros utama dunia kegerejaan.
Teologi Pembebasan seakan memberikan asa bagi para pemeluk agama yang teralienasi dari kejamnya kehidupan, mereka hidup miskin, sengsara, dan tak bisa mendapatkan hak-haknya secara penuh. Orang-orang dari golongan ini biasanya muncul dari kalangan buruh, petani, pengemis, gelandangan, dan lain-lain. Dengan mengadopsi teori-teori Marxis Ajaran ini selanjutnya menjadi sub kultur baru dalam lingkungan keagamaan kristiani dengan menyebut diri mereka sebagai golongan kristen kiri. Maka terminologi teologi pembebasan yang muncul sekitar awal tahun 60-an ini seakan menjadi sebuah anti-tesis atas pernyataan Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, hingga gerakan ini menjadi salah satu gerakan yang ditakuti oleh penguasa, oleh karenanya seringkali gerakan keagamaan menjadi salah satu prioritas penguasa dalam meredam keberadaan gerakan ini agar tidak mengancam status quo.
Teologi Pembebasan dalam Islam
Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan islam? Apakah ajaran teologi pembebasan ada di dalam tubuh islam?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita kembali melihat sejarah perjuangan Muhammad dalam menyebarkan agama islam di Mekkah.
Muhammad lahir ditengah-tengah memburuknya situasi sosial, ekonomi dan politik di Mekkah. Semangat barbarianisme, serta kesukuan yang menjadi dasar berprilaku masyarakat arab pada waktu itu senantiasa mempertontonkan ha-hal yang diluar batas kemanusiaan. buruh tak dibayar, budak diperjual-belikan, perempuan dapat diperjual belikan maupun ditukar bila ada yang berkenan, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena menjatuhkan martabat keluarga.
Potret realitas masyarakat arab diatas seakan menjelaskan bahwa Muhammad punya tugas berat dalam memberangus penindasan dan keserakahan. Kemuadian pada usianya yang menginjak 40 tahun Muhammad diangakat menjadi Nabi dan menggemparkan seisi kota Mekkah dengan aksi-aksinya. Muhammad menyerukan untuk menghormati perembuan, membayar budak sebelum kering keringatnya (hadis), melarang memperjual belikan manusia, serta meredam semangat kesukuan, karena manusia adalah sama (equal) di mata Tuhan dan yang membedakan nya hanyalah ketakwaannya. Oleh karenanya ahli hukum dari Sudan Abdullahi Ahmed An-Na’im mengatakan bahwa, dalam memandang persoalan kemanusiaan sebaiknya umat islam kembali merujuk kepada ayat-ayat Makkiyah, dan meninggalkan ayat-ayat madaniyah, karena menurut An-Na’im, ayat Madaniyah menggambar kan psosisi kemapanan umat islam, sehingga secara praksis cenderung ada unsur keegoisan karena hanya mementingkan diri umat islam saja.
Ashgar Ali Engineer menjelaskan bahwa islam memiliki beberapa tujuan dasar, diantaranya, Persamaan (equality), Persaudaraan yang universal (universal brotherhood) dan keadilan sosial (social justice). Selanjutnya ia beranggapan bahwa hal-hal tersebut lah yang menjadi nilai-nilai dasar dalam islam. Nilai tersebut akan tetap selalu ada, tidak dapat berubah karena seperti itulah kehendak yang diinginkan Tuhan melalui Al-Qur’an.
Di Indonesia kita mengenal nama H. M. Misbach. Tokoh Sarekat Islam ini juga menjadi salah satu penggerak kaum ploletar pada masa penjajahan belanda. Seorang salih yang berasal dari keturunan keraton Surakarta ini secara tegas dan lantang menolak feodalisme di negara kita.Tokoh yang terkenal dengan jargonnya “Belum Islam kalau belum Sosialis” ini juga terlibat dalam aksi pemogokan buruh beberapa kali, dan ia semakin dikenal dengan tulisan-tulisannya pada harian Medan Moeslimin, yang sangat provokatif dan memberikan semangat perlawanan terhadap kolonial belanda. Misbach yang juga ikut kecewa terhadap kebijakan-kebijakan Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto ini, bersama Semaoen membangun Sarekat Islam Merah (SI Merah) yang selanjutnya berubah menjadi Partai Komunis Indonesia. Walaupun Misbach berada dalam PKI, namun keistiqomahannya dalam membela kaum-kaum tertindas tetap terjagi hingga akhir hayatnya. Misbach dibuang pemerintah Belanda ke Manokwari dan wafat disana.
Dewasa ini kita sulit sekali temukan teolog-teolog yang punya keberpihakan terhadap kaum-kaum tertindas, bahkan yang sering kita jumpai teolog masa sekarang justru mendukung status quo dengan fatwa-fatwanya, sebut saja MUI yang belakangan ini pernah mengeluarkan fatwa haramnya premium bersubsidi. Ini jelas memperlihatkan bahwa kini fatwa telah menjadi alat dalam mendukung program pemerintah.
Para pemuka agama juga cenderung sangat ritualis, dogmatis dan bersifat metafisis yang membingungkan. Asghar Ali Engineer menyebutkan bahwa dengan wajah yang seperti ini, agama sama saja dengan mistik dan menghipnotis masyarakat. teologi hanya berupa seikat ritual yang tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas dan para pekerja kasar serta menjadi latihan intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Disadari atau tanpa disadari fiqh klasik yang dirumuskan oleh ulama dari dinasti Umayyah, Abasyiah, dsb. Juga mendukung kemandekan proses berpikir kritis umat islam, belum lagi banyak beredar hadis dan fatwa yang disinyalir palsu karena mendukung pemerintah secara penuh. Umat dijebak dan sengaja dinyamankan dengan ritual-ritual keagamaan dengan janji-janji surga sedangkan ia tak menyadari di sisi lain terdapat sekelompok manusia yang ditindas, direbut hak-haknya, dan hidup dalam kesengsaraan.
Umat islam harusnya menyadari realita ini. Tapi kita tetap saja terjebak dalam dogma-dogma klasisk, sehingga ujung-ujungnya pemikiran seperti ini disebut “kiri”, “Komunis”, atau lainnya. Alasan yang sengaja dibuat-buat, karena sejatinya watak-watak penindas telah tertanam dalam kepribadiannya sehingga wajar saja apabila Marx mengatakan bahwa Agama itu adalah candu masyarakat!!
Gusti Fadhil
Mahasiswa Syari’ah FIAI UII
Diposkan oleh Gusti Fadhil di 04.47
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aliran teologi Kontemporer merupakan aliran
yang bergerak dalam bidang ekonomi, social dan politik serta benar-benar
fokus dan maju dibidang kajiannya untuk memperjuangkan nasib manusia yang
terengut, bukan aliran telogi negatif yang ditakuti menentang dunia.
Secara praktis teologi klasik walaupun
berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah dan Sunnah berhubungan dengan
ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, imamah, khalifah dan
perbuatan-perbuatan manusia, ternyata pandangan ini tidak bisa memberi motivasi
tindakan dalam menghadapi kenyataan kehidupan konkrit manusia.
Sebab, format atau penyusunan teologi tidak
didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Karena itu,
perlu ada rekonstruksi terhadap teologi Islam sehingga semangat teologi
pembebasan dan teologi lingkungan yang merupakan perintah ajaran Islam dapat
terwujud. Semangat teologi pembebasan belakangan muncul dari gereja, kalaupun
kita terinspirasi darinya itu tidak bertentangan dengan Islam. Bukankah secara
histori Nabi Muhammad SAW adalah orang yang pertama memberikan contoh, beliau
sangat peduli dengan orang tertindas, dan peduli dengan lingkungan.
Sungguh kepada umat Islam agar berbuat sesuatu
untuk membebaskan saudara kita dari jeratan yang dilakukan rentenir menghisap
darah masyarakat miskin berpenghasilan rendah dengan pinjaman-pinjaman yang
berbunga. Terjunlah ke masyarakat untuk mengarahkan, membimbing, dan
menggerakkan masyarakat miskin untuk berwirausaha dan bekerja secara mandiri
serta memperhatikan, memelihara dan menjaganya bukan merusakannya, terkutuklah
mereka yang berbuat kerusakan di bumi.(Ar-rum: 41):
ظهر الفسادفى البروالبحربماكسبت ايدالناس
ليذيقهم بعض الذى عملوالعلهم يرجعون {الروم:41}
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali”.(Q.S.Ar-Rum:41)
Munculnya gerakan/paham/ aliran dengan
keyakinan yang mantap untuk berbuat dan menerjunkan diri pada tatanan social
merupakan deklarasi keimanan yang diterjemahkan atau dioperasionalkan ke dalam
masyarakat. Sekiranya mau membentangkan catatan sejarah sejak Nabi Muhammad SAW
dan dilanjuti oleh ulama-ulama yang setia tetap eksis melakukan gerakan dan
inovasi untuk mengayomi, melindungi dan mengawasi masyarakat dan lingkungan.
Apa dan bagaimana gerakan serta inovasi aliran
teologi kontemporer khususnya teologi pembebasan dan teologi lingkungan, maka
melalui ini penulis akan mencoba mempaparkannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian teologi Kontemporer ?
2. Latar belakang apa yang mendasari timbulnya
teologi kontemporer ?
3. Siapakah tokoh-tokoh yang berperan dalam
teologi kontemporer ?
1.3 Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian teologi
Kontemporer
2. Untuk menjelaskan latar belakang timbulnya
teologi Kontemporer
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berperan
dalam teologi Kontemporer
4. Untuk mengetahui bagaimanakah teologi
kontemporer itu
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Teologi Kontemporer
Menurut kamus besar bahasa Indonesia aliran berarti haluan, pendapat, paham.
Sedangkan kontemporer adalah pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa
kini; dewasa ini. Teologi kontemporer ini merupakan upaya menjawab konteks
social yang ada dan bentuknya praktis, bisa pada teologi pembebasan,
lingkungan, humanistic dan lain-lainnya. Intinya teologi kontemporer tidak
bersifat teoritis, hanya menyajikan langkah praktis perwujudan dari nash dalam
menghadapi persoalan yang ada atau dihadapinya.
Berdasarkan teori diatas dapat dipahama bahwa
teologi kontemporer berorientasi pada pada transformasi sosial masyarakat,
melakukan langkah praktis karena perintah nash. Sedangkan aliran teologi klasik
sebagaimana kita bahas yang lalu, hanya berkutat pada persoalan hakikat yang
berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah dan Sunnah berhubungan dengan
ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, imamah, khalifah dan
perbuatan-perbuatan manusia.
2.2 Latar belakang munculnya teologi kontemporer
Selama ini pola pikir dan logika yang
digunakan dalam ilmu teologi (aqidah, dokrin, dogma) adal pola piker deduktif,
pola pikir yang tergantung pada sumber utama (teks) sejauh yang diketahui bahwa
pola piker deduktif hanyalah salah satu saja dari pola pikir ada. Masih ada
yang disebut dengan induktif dan abduktif. Pola pikir induktif mengatakan bahwa
ilmu pengetahuan bersumber dari reakitas empiris-historis. Realitas
empiris-historis yang berubah-ubah, yang bias ditangkap oleh indra dan
dirasakan oleh pengalaman dan selanjutnya diabtrasikan menjadi konsep-konsep,
rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh
akal pikiran.[1]
Dalam pola pikir induktif tidak ada sesuatu
apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal manusia dalam dunia konkret ini
dapat dijadikan bahan dasar ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu teologi.
Persolan-persoalan yang dihadapi pada masa sekarang ini lebih diwarnai isu-isu
yang menuntut masalah kemanusiaan secara universal. Isu seperti demokrasi,
pluralisasi agama dan budaya, hak asai manusia, lingkungan hidup, kemiskinan
structural, menjadi tantangan sekaligus menjadi agenda persoalan yang dihadapi
oleh generasi kini. Isu-isu tersebut jelas berbada dengan isu-isu abad tengah
dan zaman klasik yang biasa diangkat dalam kajian teologi dan falsafah islam
klasik. [2]
Ketika dihadapkan pada isu-isu tersebut,
pengembangan dan pembaharuan ilmu teologi memang merupakan keniscayaan. Tahap
awal dalam upaya pengembalikan “keseimbangan” antara bobot ilmu teologi klasik
yang bermuatan moralitan normative dan tuntunan perkembangan ilmu pengetahuan
kontemporer yang bersifat empiris mutlak diperlukan kritik epistemologis yang
mendasar.[3]
Selain itu, secara praktis, teologi tidak bias
menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas
kesadaran murni dan nila-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan
(split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang
gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’.[4]
Dalam upaya merekonstruksi untuk menuju sebuah
format teologi yang bias berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran
yang berjalan saat ini, maka objek kajian ilmu teologi klasik yang
bersifattransedent-spekulatif, seperti pembahasan tentang sifat-sifat
Tuhan, yang relevansinya kurang jelas dengan kehidupan masa kini harus diganti
dengan kajian yang lebih actual, seperti hubungan Tuhan dengan manusia dan
sejarah, korelasi antara keyakinan agama dan pemeliharaan keadilan dan masih
banyak lagi aspek lain. Yakni perlu diupayakan pergeseran wilayah pemikiran
yang dahulu hanya memusatkan perhatian kepada persoalan-persoalan ketuhanan
(teologi) ke arah paradigma pemikiran yang lebih menelaah dan mengkaji secara
serius persoalan kemanusiaan (antropologi).[5]
Untuk merespon persoalan kemanusiaan yang
timbul di berbagai belahan dunia dan di tanah air (Indonesia)dalam satu
dasawarsa terakhir, teologi islam abdad klasik dan abad pertengahan yang lebih
sibuk mengurusi tuhan, amat teoritis, teosentris, elitis, dan konseptual statis,
jelas tidak memadai. Disamping itu juga teologi tersebut tidak mewakili
pandangan islam secara utuh, bila bukan telah mengaburkannya. Akan tetapi
teologi semacam ini masih sja mempengaruhi cara berfikir umat islam sampai
sekarang karena formulasi pandangan dunia alquran yang lebih adil dan utuh,
dalam proses permulaan dikerjakaan oleh sarjana-sarjana muslim.[6]
Aliran teologi ini dapat dipandanng
sebagai islam kiri, teologi kiri, teologi kaum tertindas, teologi
trasformatif atau tauhid social, islam liberal, islam progresif khazanah, dsb.
Kadang-kadang aliran ini bisa saja dinilai positif dan negatif. Positif jika
dapat bergerak dalam bidang ekonomi, sosial dan politik serta benar-benar fokus
dan maju dibidang kajiannya dan bisa negatif bila dilihat sebagai sebuah
gerakan mandiri yang tampak menantang dunia.
2.3Teologi Pembebasan
Teologi pembebasan adalah semangat membela
kaum lemah tertindas dan memerangi kemiskinan. Menurut Engineer, bahwa teologi
pembebasan merupakan pengakuan dan memerlukan perjuangan secara serius masalah
bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan penyusunan kembali
tatanan social menjadi tatanan dengan tidak eksploitatif tetapi adil dan
sederajat.[7]
Dari paparan dan penjelasan di atas, berarti
teologi pembebasan menggunakan agama sebagai sebuah dasar atau landasan untuk
bergerak, atau dengan kata lain teologi pembebasan adalah menjadikan agama
landasan/ideologi menggerakkan mereka (kaum du’afa) untuk memperjuangkan
hak-hak yang terenggut. Gerakan ini diberi nama teologi, karena perjuangan yang
dibawa dikaitkan dengan keyakinan agama.
Teologi pembebasan bukan mengiyakan
penderitaan, kesensaraan dan ketertindasan lalu dianggap sebagai takdir yang
mesti diterima, mengagap Tuhan telah memberi celah kepada para ilmuan untuk
mengisi kekosongan temporer atau mengagap kegagalan manusia disebabkan
intervensi dari Allah swt, akan tetapi teologi ini berpandangan keterbatasan,
kegagalan manusia terletak pada kreativitas dan kematangannya, untuk itu
manusia hendaknya berjuang.
“Agama adalah Candu Masyarakat”, demikian
sepenggal kalimat yang dianggap saripati pandangan Karl Marx terhadap agama.
Agama, menurut Marx adalah ciptaan manusia sebagai tempat untuk berkeluh kesah
dan pelarian sementara, mengalihkan diri dari realitas penderitaan yang di
alami oleh manusia. Agama meenyediakan ajaran-ajaran yang meninabobokan para
pengikutnya agar lebih menerima kenyataan yang ia alamai sebagai bagian dari
perjalanan hidup yang dikehendaki Tuhan.[8]
Pandangan Marx ini didasaarkan pada realitas
pada zamannya, dimana agama tidak berbuat apa-apa pada saat umatnya mengalami
kemiskinan, penderitaan, dan penindasan oleh eksploitasi para kapitalis yang
mendapat dukungan dari para birokrat. Justru dalam kondisi demikian, kaum
agamawan lebih memihak pada ke kaum kapitalis, dan memberikan legitimasi atas
kondisi dan sistem ekonomi yang ada. Agama telah terkooptasi oleh kepentingan
para kapitalis dan para birokrat.
Apakah Islam juga mengalami hal yang sama
sebagaimana agama yang disaksikan Marx? Untuk sebagian, jawabannya adalah “ya”.
Menurut Hassan Hanafi, Islam yang telah terkooptasi menjadi hanya sekedar
kumpulan ritus-ritus, perayaan-perayaan, dan kepercayaan ukhrawi saja.[9]
2.4 Perspektif Islam, Tokoh Teologi Pembebasan dan Pemikirannya
Sedangkan teologi pembebasan menurut pandangan
Islam perlu kita telusuri dari catatan sejarah, Sesungguhnya Rasulullah SAW
merupakan pelopor membebaskan orang-orang tertindas dan kaum dhu’afa. Nabi
Muhammad SAW sangat dekat dengan orang-orang miskin dan tertindas. Begitu juga
dengan para sahabat dan ulama-ulama yang sangat mencintai Islam mereka
mempelopori memperjuangkan keadilan dan semangat membela kaum tak berdaya.
Islam adalah agama social, menjunjung tinggi
hak-hak orang lain, dan orang yang tidak memperdulikan kaum du’afa dikatakan
pendusta Agama dalam Al-quran. Al-ma’un:1-3:
ارايت الّذي يكذّب بالذّين{1} فذالك الّذي يدعّ
اليتيم{2} ولايحضّ على طعام المسكين{3}
“1.Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah
orang yang menghardik anak yatim. 3.Dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin”.(Q.S.Al-Ma’un:1-3)
Dari paparan ayat diatas, menunjukan bahwa
adanya kewajiban memberikan makan orang miskin, secara muradif berdosa bila
tidak memperjuangan nasib-nasib orang tertindas dan terania. Terinspirasi
inilah para ulama-ulama berkewajiban membela bahkan sampai-sampai melakukan
perlawanan dalam rangka memperjuangkan pembebasan.
Di bawah ini akan dibentangkan tokoh-tokoh
dengan gigih memperjuangkan kebebasan, antara lain :
1. Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer adalah seorang Muslim
India. Ia adalah seorang pemikir, penulis dan aktivis sekaligus. Pemikirannya
yang paling dikenal adalah mengenai Islam dan Teologi Pembebasan. Asghar
lahir pada 10 Maret 1939 di Salumbar, Rajastan India. Ayahnya, Shaikh Qurban
Hussain adalah seorang ulama pemimpin kelompok Daudi Bohras.[10] Menurut
Engineer sebagaimana dikutip Dayan lubis, bahwa tiga alasan upaya pembebasan:
“Pertama: Islam, terutama teologi Islam selama ini berkembang
tidak relevan lagi dengan konteks social yang ada. Kedua : Teologi itu pasti
mengalami demistified dari apa yang sebenarnya dimaksudkan Islam. Ketiga :
Mengembalikan seperti semula komitmen Islam terhadap terciptanya keadilan
social-ekonomi dan tehadap golongan lemah.”[11]
Asghar Ali mempertegaskan perjuangan membela
dan menegakkan teologi pembebasan merupakan suatu perintah. Hal ini sesuai
firman Allah sebagai dalsm Alquran surat An-Nisa’ayat 75 dan surat Al-Qashos
ayat 5 yang artinya:
“Mengapa kamu tak hendak berperang di jalan Allah
dan golongan yang lemah baik laki-laki, wanita maupun anak-anak yang
mengatakan. Tuhan
kami! Keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya aniaya dan berilah
kami dari sisi-Mu seorang pelindung dan berilah kami dari sisi-Mu seorang
pembela”.(QS. An-Nisa’:
75)
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada
orang-orang yang tertindas di bumi Mesir itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi”.(QS. Al-Qashos: 5)
Akhirnya dengan dorongan yang kuat memperjuangkan nasib kaum tertindas
serta menganggap teologi pembebasan suatu nilai yang suci dan tujuan
ilahiyyah.[12] Dan
perlu dipahami upaya memperbaiki nasib merupakan titah yang harus dijujung
tinggi Hal ini sesuai
dengan sinyal dalam Al-qur’an “Nasib suatu bangsa belum akan diperbaiki sebelum
bangsa itu sendiri memperbaiki nasibnya”.
2. Maulana Farid Essack
Maulana Farid Essack lahir 1959 di pinggiran
Cape Town, Wymberg. Sejak kecil ia telah di tinggalkan oleh ayahnya. Hidup
mereka sangatlah miskin. sekali, mereka hidup terlunta-lunta, ibunya harus
bekerja keras untuk mendapat rezki, dan paling menyedihkan bagi Essack ibunya
menjadi korban pemerkosaan. Sehingga untuk mengingat kembali teragedi itu ia
menulis dengan karyanya, Qur’an Liberation and Pluralism,[13] yang
mengulas kembali tentang kisah sedih kehidupan yang dilalui sejak kecil.
Adapun pendapat Farid Essack, berteologi bukan
berarti mengurusi urusan Tuhan semata, neraka, surga dan lain-lain. Tuhan
adalah zat yang tidak perlu diurus, banyak mengurusi Tuhan itu adalah
pekerjaaan sia-sia (mubazir). Teologi harus dipraksiskan, bukan digenggam
erat-erat untuk tujuan kesalehan pribadi. Akan tetapi dengan mendekati dan
mengasihi makhluknya, kita juga telah mengabdikan diri kepada Tuhan.[14]
Semangat Farid Essack di Afrika Utara
mengembangkan teologi pembebasan dan pluralisme. Perjuangannya sesuai
penafsiran atas ayat-ayat Alquran,[15] Akhirnya
Farid mampu membangkitkan semangat perlawanan orang dhu`afa dan petani miskin
dari penindasan yang dilakukan para tengkulak dan tuan tanah sehingga
perekonomian masyarakat miskin menjadi lebih baik.
3. Muhammad Yunus
Tokoh yang satu ini adalah Muhammad Yunus.
Muhammad Yunus dengan aksi Grameent Bank-nya di Bangladesh,[16] berhasil
memberdayakan kaum dhu`afa dan orang-orang miskin, terutama wanita. Muhammad
Yunus dengan melalui Grameent Bank memberikan pinjaman modal dengan pembayaran
yang ringan dan terjun membimbing masyarakat miskin Bangladesh dalam kegiatan
pemberdayaan ekonomi mikro hingga mereka terlepas dari jeratan rentenir dan
tengkulak seperti lintah darat.
Muhmamad Yunus ada kesaman dengan tokoh Asghar
Ali yang terispirasi Surat Al-Maun dan Al-Balad yang memerintahkan membebaskan
perbudakan, menyantun anak yatim dan miskin. Akhirnya Muhammad Yunus pun terjun
ke masyarakat mengarahkan, membimbing, dan menggerakkan masyarakat miskin agar
bekerja dan berwiraswasta secara mandiri dengan menciptakan produk-produk khas
daerah dan industri rumah tangga.
4. Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13
Februari 1935 di Kairo. Pendidikan di awali 1948. Sejak kecil ia mengetahui
pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok dan aktivitas sosialnya. Adapun karya
Hanafi, Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi
pemikirannya sejak revolusi 1952. Buku ini memuat tentang bagaimana sumbangan
agama bagi kesejahteraan umat manusia.[17] Adapun
pokok pemikirannya antara lain:
Kritikan terhadap teologi tradisional, Umat
Islam hendaknya orientasi perangkat konseptual system kepercayaan (teologi)
sesuai dengan perubahan konteks politik terjadi. Umat Islam mengalami kekalahan
di berbagai medan pertempuran sepanjang priode kolonialisasi karena mengikuti
klasik, untuk itu perlu diubah berpola kepada kerangka koseptual baru yang
berasal dari modern. Kegagalan para teologi tradisional disebabkan oleh sikap
para penyusun teologi yang tidak mengaitkan dengan kesadaran murni dan
nilai-nilai perbuatan manusia.
Teologi Islam klasik yang membicarakan ilmu
ketuhanan tidak usah dipersoalkan akan tetapi hendaknya rekonstruksi, artinya
membangun kembali sehingga terpungsi teologi itu menjadi ilmu-ilmu yang berguna
bagi masa kini, menjadi solusi dari masalahah umat, bukan menjadi dogma-dogma
keagamaan yang kosong, akan tetapi menjelma ilmu tentang pejuang sosial.[18]
Hal ini senada yang dikatan oleh Zuhairi
Misrawi,[19] dokrin
keagamaan mestinya dapat memberikan perhatian yang lebih besar pada persoalan
kemanusiaan, mengotekstualisasikan teologi dengan problem kemanusian. Adapun
melatar belakangi diperlukan rekontruksi teologi menurut Hanafi adalah sebagai
berikut:
“Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas
ditengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Pentingnya teologi
baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada
kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan
dalam sejarah. Salah satu kepentingan ini adalah memecahkan problem penduduk
tanah di Negara-negara Muslim. Kepentingan teologi yang bersipat praktis
(amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realita tauhid dalam
dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya teologi dunia yaitu teologi baru yang
dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde”. [20]
Selain tokoh-tokoh di atas masih banyak lagi yang
lain, seperti: Maulana Sayyid A’la Maududi, tokoh yang kelahiran di India 25
November 1903 ini, sangat gentol memperjuangkan nasib kaum lemah, sehingga ia
mendirikan Jama’at I’Islami.[21] Menurutnya,
orang-orang yang mempunyai iman dalam hatinya tidak akan mau dikuasai oleh
suatu sistem yang jahat dan tidak akan menggerutu memberikan harta kekayaannya
dan mereka hidup dalam perjuangan menegakan Islam. Jihad yang pertama
sebenarnya adalah perjuangan moral di masyarakat Islam yang bertujuan
pembaharuan baik yang berpusat pada peribadi dan social agar tidak ditundukan
kepada ketidak adilan.[22]
Begitu juga Ali Shariati lahir 23 November 1933, di Mazinan,
dekat Mashhad, Iran.[23] Menurutnya:
“Kebudayaan orang Muslim adalah campuran campuran iman,
idealisme, dan kerohanian namun dan daya dengan semangat nya yan menonjol yaitu
persamaan dan keadilan …tidak seperti agama lain yang membenarkan kemiskinan ,
Islam mengutuk kemiskinan …unsure-unsur didasar pada usaha gigih… Allah
menghormati martabat manusia.”[24]
Shariati juga terkenal dengan sebuatan kaum
mustadh’afin. Ia menyebutkan “Allah orang-orang tertindas, orang berjuang untuk
kebebasan mereka, orang-orang yang mati syahid demi kebenaran dan keadilan”. Di
samping itu ia terkenal juga “rausan fikr” atau orang-orang terserahkan.
Seorang yang memperoleh pencerahan adalah orang yang menyadari pertentangan
social yang ada dan sebab-sebabnya yang sesungguhnya dan mengetahui kebutuhan
zamannya, memberikan pemecahan dan mengambil bagian menggerakan dan mendidik
masyarakat yang statis dan bodoh. Orang mendapat pencerahan ia harus meneruskan
jalan Nabi untuk membimbing, memecahkan masalah masyarakat.[25]
1). Pembebasan dari ketidaksetaraan manusia
Pada zaman Nabi Muhamad dulu, masyarakat Arab
dikenal fanatik terhadap suku mereka. Sikap fanatisme atau ashabiyah ini terekspresikan dengan memandang rendah
orang di luar kelompoknya. Selain itu, sebagaimana di belahan bumi lainnya,
perbudakan adalah sesuatu yang lazim. Tindakan nabi memilih sahabat Bilal sebagai muazzin pada waktu itu sungguh merupakan tindakan yang
menurut Asghar cukup revolusioner sebab sebelumnya, bilal yang berasal dari
etnis berkulit hitam tersebut adalah bekas budak. Dengan cara ini nabi
menunjukkan bahwa harkat martabat manusia melampaui batas-batas etnis, suku,
warna kulit, merdeka atau hamba sahaya.[26]
Selain itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa
sesungguhnya semua umat manusia berasal dari satu keturunan yang sama. Tidak
ada yang lebih mulia satu dari lainnya berdasarkan etnis, suku ataupun warna
kulitKemulian itu hanya bisa dicapai lewat kualitas ketakwaan. Al-Qur’an
menyatakan:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al-hujurat: 13).
Ayat di atas diperuntukkan tidak hanya bagi
orang Arab, tetapi bagi seluruh umat manusia. Dewasa ini, persoalan
kesetaraan umat manusia masih menjadi persoalan dunia. Rasisme masih
menghinggap di banyak pikiran orang, sehingga PBB perlu untuk meneguhkan
ide-ide persamaan ini.
2). Pembebasan dari Ketidakadilan Jender
Pada zaman Nabi, untuk pertama kalinya
perempuan Arab mendapatkan banyak hak yang sebelumnya tak terbayangkan.
Perempuan pada masa itu dalam posisi sub-ordinat yang sangat lemah. Nabi
menetapkan, Perempuan bisa mewarisi, bisa mempunyai hak milik sendiri, bisa
menta cerai dan bisa menentukan dirinya sendiri. Pada sisi lain, poligini yang
sebelumnya tanpa batas, kemudian dibatasi maksimal empat istri. Itupun dengan
persyaratan yang ketat. Sedangkan poliandri dengan tegas dilarang.[27]
Selain itu, Nabi Muhamad merubah perlakuan
masyarakat terhadap anak perempuan. Jika sebelumnya masyarakat Arab mempunyai
tradisi mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena rasa malu, maka Nabi
kemudian melarang tradisi itu sekaligus merubah stigma negatif terhadap anak
perempuan.
Selain itu, Islam juga memberikan hak yang
sama bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, hak untuk
memimpin, hak untuk bekerja dan hak untuk terlibat aktif pada urusan publik.
Untuk itu, pada sisi lain, Asghar mengkritik Negara-negara yang mengatasnamakan
Islam melakukan pengekangan terhadap hak-hak perempuan.
3). Pembebasan dari ketidakadilan ekonomi
Ketidakadilan ekonomi adalah persoalan yang
paling banyak disinggung oleh Asghar Ali. Dalam Al-Qur’an, kata kunci keadilan
adalah ‘adldan qist. Ádl dalam bahasa Arab mengandanung arti sawiyyah atau persamaan/kesetaraan. Kata itu juga
mengandung arti pemerataan dan kesamaan. Sedangkan qist mengandung arti distribusi, jarak yang merata,
kejujuran dan kewajaran.[28]
Dengan konsep ini, maka yang diinginkan oleh
Al-qur’an adalah pemerataan kekayaan. Oleh karena itu Islam melarang
konsentrasi harta pada pihak-pihak tertentu. Dan menentang bermewah-mewahan
dengan harta, sementara pada saat yang sama banyak orang lain yang membutuhkan.
Konsentrasi ini dalam konteks saat ini bisa pada diri perseorangan atau
kelompok dalam satu wilayah atau Negara, bahkan bisa lintas Negara. Polaritas
antara Negara Utara dan Negara Selatan di mana kebanyakan negara berpenduduk
Islam berada di situ, adalah juga bentuk konsentrasi kekayaan. Negara Utara,
teerutama G-8, mewakili negara dengan kekayaan berlimpah sedangkan Negara
Selatan mewakili Negara dunia ketiga yang miskin.[29]
Asghar lalu menunjuk pada struktur ekonomi
yang timpang antara Negara Utara dan Negara Selatan, aturan-aturan perdagangan
seperti WTO, atau aturan bantuan oleh World Bank dan IMF yang menciptakan
ketergatungan negara miskin dan menguntungkan Negara kaya. Selain itu Asghar
juga menunjuk dominasi Multinational Corporation (MNC) danTransnational
Corporation (TNC) yang banyak mengeksploitasi buruh dan sumberdaya
alam di negara dunia ketiga.[30] Kondisi
eksploitatif ini sampai sekarang belun ada tanda-tanda akan mereda, bahkan
seiring dengan menguatnya madzhab ekonomi neo-liberal, Negara-negara
kuat semakin kuat untuk mengekspresikan naluri-naluri eksploitatifnya dengan
menekan Negara-negara lemah agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka.
Hanya saja, tawaran Asghar mengenai masalah
ketidakadilan ekonomi ini sangat problematis. Pada masalah bunga bank, ia tidak
setuju dengan upaya pendirian perbankan tanpa bunga, karena cara seperti itu
hanya artificial semata dan tidak menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya,
yaitu system ekonomi kapitalistik yang eksploitatif.
Akan tetapi ia belum memberi solusi yang jelas
atas problem perbankan ini. Pada sisi lain, kritiknya atas sistem ekonomi
kapitalis tidak disertai dengan tawaran yang kongkrit tentang sistem ekonomi
alternatif. Gagasannya yang cenderung sosialistik tidak serta merta diikuti
dengan tawaran sistem ekonomi sosialis atau system ekonomi lainnya yang menjadi
alternative dari kapitalisme. Untuk konteks sekarang ada banyak contoh dari
Amerika Latin yang secara kebetulan merupakan basis Teologi Pembebasan. Di sana
kapitalisme mendapat goyangan yang cukup hebat karena semakin banyaknya
tokoh-tokoh “kiri” yang menjadi presiden. Mereka kemudian membawa negaranya
beralih ke sistem yang popular dengan sebutan ‘neo-sosialisme’ yang merupakan
revisi dari sosialisme yang dinilai kurang mampu membawa kemakmuran.[31]
2.5 Teologi Lingkungan
Teologi lingkungan adalah tuntutan kesadaran
beragama yang memiliki keterlibatan dan keberpihakan penuh kepada lingkungan
yang bertujuan dan berperan untuk mendekonstruksi, menguji kembali sikap hidup
dan tingkah laku kita terhadap alam.[32] Baik
itu meliputi alam (Thabi’ah) diciptakan Allah seperti bintang, matahari, bumi
dan sebagainya, serta begitu juga alam industri (shina’iyah) yang diciptakan
manusia seperti rumah, pohon yang ditanam dan lain-lain.[33]
Dari penjelasan di atas bahwa teologi
lingkungan merupakan tuntutan dengan penuh kesadaran kepada lingkungan baik
meliputi alam ciptaan Allah swt dan alam yang dibuat oleh manusia untuk dijaga
dan jangan dirusak, atau dengan kata lain bagaimana kita berkhlak kepada alam
sesuai dengan tuntutan agama. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Harun
Nasution, sebagaimana dikutip Tsuroya Kiswati, bahwa alam merupakan ciptaan
Allah SWT yang tidak bisa diabaikan.[34] Visi
dan misi seorang berteologi harus sampai pada aspek keselamatan yang bersifat
universal, karena seluruh alam luas ini akan menjadi rahmat bagi manusia tidak
ada yang sia-sia.[35]
1. Peran Manusia Terhadap Lingkungan
Manusia memiliki peranan yang amat penting
dalam pemeliharaan lingkungan. Sebagaimana dikutip Yusuf al-Qaradhawi dalam
Araghib al-Asfahani bahwa, ada tiga tujuan manusia berperan terhadap lingkungan
:
Pertama: Untuk mengabdi pada Allah swt, (Adz-Dzariyat: 56):
ماخلقت الجنّ والانس الاّليعبدون {الذّاريات:56}
“Dan Aku tidak menciptakn jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembahku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ibadah ini meliputi seala sesuatu yang
disenangi Allah swt dan diridhai-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Maka dalam konteks ini sebenarnya bentuk ibadah mencakup semua aspek kehidupan.
Kedua: Sebagai wakil (Khalifah) Allah SWT di atas bumi. Allah
berfirman (Al-baqarah: 30):
واذقال ربك انّى جاعل فى الاض خليفة قالوااتجعل
فيها من يفسد فيهاويسفك الدّماء ونحن نسبّح بحمدك ونقدّسلك قال انّى اعلم
ماالاتعلمون {البقرة:30}
“Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi. Kata
mereka, "Kenapa hendak Engkau jadikan di bumi itu orang yang akan berbuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah padahal kami selalu bertasbih dengan
memuji-Mu dan menyucikan-Mu Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui".( Al-baqarah: 30)
supaya praktik kekhalipahan ini terwujud, mereka dituntut
untuk menegakan kebenaran dan keadilan, serta menyiarkan kebaikan dan
kemaslahatan. Ketiga: Membangun peradaban dimuka bumi.
Dalam salah satu firmanNya (Hud: 61):
والى ثموداخاهم صالحا قال ياقوم اعبدواالله
مالكم من اله غيره هوانشاكم من الارض واستعمركم فيهافاستغفروه ثمّ توبوااليه
انّربّى قريب مجيب {هود:61}
“ Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadi
pemakmurnya”. Arti menjadi pemakmur di sini mengandung pesan pada manusia untuk
membangunnya.” (QS.Hud: 61)
Memperhatikan pendapat dan diperkuat oleh
firman Allah swt di atas, maka manusia mempunyai beban dan bertanggung jawab
untuk membangun agar bumi bisa sempurna lewat cara menanam, membangun,
memperbaiki dan menghidup, serta menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan
yang merusak.[36]
Manusia melakukan tindakan kesalahan
pengelolaan dalam interaksinya dengan berbagai komponen alam dan sumberdaya
dalam suatu ekosistem, maka akan terjadi pencemaran, krisis lingkungan,
degradasi mutu lingkungan dan bahkan bencana alam.[37] Menurut
Gail Omvedt sebagaimana dikutip Amaladoss menyebutkan, merusak lingkungan
merupakan kemerosotan dan berdampak buruk pada kualitas diri sendiri.[38] Dan
orang yang mengeksploitasi alam secara rakus dan merusak berarti ia berusaha
merampas eksistensi dan kehidupan alam semesta serta berusaha menggugat dan
merampas hak dan kekuasaan Tuhan.[39] Oleh
karenanya sebagai orang beriman maka ia mesti mereflleksikan atau mempraktikkan
teologi lingkungan dalam proses menuju keselamatan seluruh ciptaan Tuhan.
Menurut Yusuf Qardhawi ada beberapa factor-faktor merusak
lingkungan :
1. Mengubah ciptaan Allah.
Mengubah sunnah Allah merupakan salah satu
pengrusak lingkungan yang sangat berbahaya , yang akan melampai batas-batas
asli penciptaanNya, yang disediakan bagi kemaslahatan manusia. Mengubah di sini
maksudnya yaitu mengubah fitrah manusia yang telah diciptakan Allah sesuai
dengan fitrahnya, dan setan akan berupaya menggoda manusia merusak (an-Nahl:
119):
ثمّ انّ ربّك للّذين عملو السّوء بجهالة ثمّ
تابوامن بعدذالك واصلحوا انّ ربّك من بعدها لغفور رحيم {النحل:119}
“Kemudian sesungguhnya Rabbmu terhadap orang-orang yang
mengerjakan keburukan karena kebodohannya kemudian mereka bertobat sesudah
itu dan memperbaiki dirinya sesungguhnya Rabbmu sesudah itubenar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nahl:
119)
2. Kezaliman
Kezaliman merupakan perusakan di laut dan
darat dan ini merupakan pengrusakan yang paling berbahaya, baik kepada manusia,
hewan, tumbuhan dan benda-benda padat, tanah, air, udara dan lain-lain.
Sesungguhnya kezaliman dan kejahatan adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah.
Dan Allah akan membalas perbuatan zalim (an- Naml: 52), (al-Kahfi: 59)[40],
(Yunus: 23) dan (Hud: 117). Orang baik berbuat kebajikan tidak akan dihancurkan
oleh Allah meskipun tidak beragama Islam. Karena perbuatan baik untuk merka
sendiri dan Allah menunda hukuman sampai kiamat. Hal ini senada dengan ungkapan
Ibnu Taimiyah, “ Sesungguhnya Allah akan membiarakan Negara kafir apabila
berlaku adil dan akan memusnahkan Negara Islam yang banyak terjadi kezaliman di
dalamnya” dengan kata lain, orang zalim tidak akan bermanfaat Islamnya jika ia
berlaku zalim terhadap makhluk Allah lainnya.[41]
3. Berjalan sombong di muka bumi, (lihat,al-qoshos: 41)
وجعلناهم ائمّة يدعون الى النّار ويوم القيمة لا
ينصرون{القصص:41}
“Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang
menyeru ke nerakadan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (QS.al-qoshos: 41)
4. Menuruti hawa nafsu
Bila manusia ditundukkan oleh hawa nafsu dan
mementingkan kepuasan syahwat serta hasrat dunia, mendahulukan hawa nafsu
daripada akalnya maka kerusakanpun terjadi, bahkan akan dibinasakan oleh Allah
(al-Mukminun: 71)
ولوالتّبع الحقّ اهواء هم لفسدت السّموات والارض
ومن فيهنّ بل اتينهم بذكرهم فهم عن ذكر ربّهم معرضون{المؤمنون:71}
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka pasti
binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya.Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari
kebanggaan itu”. (QS.al-Mukminun:
71)
5. Penyimpangan dari keseimbangan kosmos
Allah telah menciptakan sesuatu sesuai dengan
ukurannya lalu diletaknya sesuatu dengan segala perhitungan (Ar-Ra’du: 8),
(al-hijr:19), (ar-Rahman: 5-9), ayat ini mengisyarat pada keseimbangan kosmos.
Kerusakan yang terjadi di muka bumi disebabkan oleh tangan manusia.(Ar-rum:
41), bila ini terjadi kemerosotan lingkungan berdampak buruk pada proses kita
sendiri.
6. Kufur terhadap nikmat Allah
Manusia yang lupa mensyukuri dan memelihara
dan menyalah gunakan melanngar aturan Allah oran itu dikatakan kufur nikmat
yang akhirnya menyebabkan hilangnya nikmat tersebut. Pelakunya akan mendapat
hukuman dari Allah, banyak ayat tentang membicarakan tentang kufur nikmat akan
mendapat kesensaraan dan juga membuat kerusakan diantaranya: (Ibrahim: 7,
Al-Ahzab: 182, Ali-Imran: dan an-Naml: 112 dan Ibrahim: 28).
2. Pandangan ahli tentang kewajiban memelihara lingkungan
Pandangan kalangan Ilmu Ushuluddin menyatakan
semua ciptaan baik makhluk hidup atau mati, semua itu makhluk bersujud kepada
Allah SWT, termasuk kedalam golongan manusia, diciptakan, (An-Nahl: 3-8).[42]Ia
ikut bersama manusia dalam kafasitasnya memuji pada Allah, menaati perintahNya
dan patuh terhadap semua hukum yang berlaku bagi semua makhluk (Al-Hasyr: 1,
at-Taghabun:1 dan al-Isra’: 44) Akan tetapi karena manusia berikrar menyanggupi
memikul amanat (al-Ahzab:72), berarti manusia itu menerima amanat kekhilafahan
Allah Swt di muka bumi, (al-Baqarah: 30, al-An’am: 165).
Khalifah berarti wakil/pengganti.[43] Dalam
konteks ini manusia adalah wakil Allah Swt yang memiliki kewajiban moral
menjabarkan segala kehendak Allah Swt di muka bumi ini agar bumi tetap dalam
kondisi nature-nya (QS. Hud: 61)sebagai pengayom/memelihara alam ini.
والى ثموداخاهم صالحا قال ياقوم اعبدواالله
مالكم من اله غيره هوانشاكم من الارض واستعمركم فيهافاستغفروه ثمّ توبوااليه
انّربّى قريب مجيب {هود:61}
“Dan kepada Tsamud saudara mereka Saleh. Saleh
berkata, "Hai kaumku! Sembahlah Allah sekali-kali tidak ada bagi kalian
Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian
pemakmurnya karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah kepada-Nya.
Sesungguhnya Rabbku amat dekat lagi memperkenankan”.(QS. Hud: 61)
Sedangkan kalangan Ilmu
Fiqih menyatakan, sesuai dengan ilmu fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan
TuhanNya, sesamanya dan lingkungan. Menyebutkan Perhatian terhadap lingkungan,
mengatur dan memeliharanya adalah wajib. Di antara kaedah-kaedah yang keras
tentang menjaga lingkungan berbunyi, “ Keadaan darurat tidak boleh dijadikan
alasan untuk menganggu hak-hak yang lain” (al-idhtiror la yabthil haqqa
al-ghair) [44],
ini merupakan prinsip yang dipakai untuk menetapkan hukum yang berkaitan dengan
pemeliharaan dan kelestariaan lingkungan.Tokohnya yang berkutat adalah,
As-Syuyuthi yang bermazhab Syafi’i dan Ibnu Najim bermazhab Hanafi. [45]
Dari kaedah diatas, kita
bisa menetapkan hukum zaman sekarang, terutama terhadap mereka yang sering
menganggu ketertiban lingkungan, dan melampau batas, seperti dilakukan oleh
Industri-industri, Perusahaan yang tidak peduli dampak yang menimpa masyarakat,
mereka ini jelas salah dan menciptakan malapetaka bagi orang umum. Mereka di ibaratkan ”seperti kaum yang
mendayung perahu yang kemudian saling menabrak mereka yang di atas dan dibawah.
Mereka di bawah apabila minum dari air akan berjalan di atasnya. Lalu mereka
berkata kami buat lubang di bawah pasti tidak akan menyusahkan yang di atas,
sekiranya yang di atas membiarkan mereka di bawah, maka semuanya mati tetapi
jika mereka mencegahnya maka semuanya selamat” (HR. Buchori).[46]
Kemudian dari kalangan Ushul fiqih, orang yang
pertama kali meletakan pondasi terhadap bangunan yang membahas kepentingan
masyarakat, Abu Hamid Al-Ghazali dengan bukunya “al-Mustashfanim ilm ushul”,
setelah itu Izuddin dengan bukunya “Qawaid al-Ahkafi fi Mashalihil al-Anam”
yang memuat tentang kaidah hukum bagi kemaslahatan manusia. Semua syariat
mengandung unsur maslahat, baik yang mempunyai orientasi menjaga dari
unsure-unsur bahaya serta melaksanakan makruf dan menghidari kejahatan.
Upaya perbaikan lingkungan dan pemeliharaan
dapat dilakukan denga dua pijakan: 1. Metode solutif dan positif atau metode
eksestensi menrurut istilah Asy-Syatibi 2. Metode pragmatis atau negative. Dua
kerangka inilah dalam bukunya “Pemeliharaan” yang tersirat kata “ perlindungan”
dalam aplikasinya mencakup perlindungan terhadap keberadaannya dan sisi
penjagaan dari kepunahannya. Pemeliharaan lingkungan berarti:1. Menjaga
lingkungan sama dengan menjaga agama. 2. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga
jiwa. 3. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga keturunan. 5. Menjaga
lingkungan sama dengan menjaga akal. 6. Menjaga lingkungan sama dengan menjaga
harta.[47]
Dari paparan teologi lingkungan di atas, kalau
kita tarik benang merahnya berarti jelaslah bahwa manusia dituntut menjaga dan
memelihara lingkungan baik itu meliputi alam (Thabi’ah) diciptakan Allah
seperti manusia, bintang, laut, matahari, bulan, bumi, tambang, mineral dan
sebagainya, serta begitu juga alam industri (shina’iyah) yang diciptakan
manusia seperti bangunan-bangunan, hasil karya, pohon yang ditanam dan
lain-lain. Dan perlu dipahami kewajiban menjaga, memelihara dan menggunakan
atau mengelola serta mengayomi lingkungan dengan baik bukan tuntutan dari norma
adat dan negara akan tetapi merupakan perintah dari Allah SWT (Lihat wahyu).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teologi kontemporer menurut KBBI berarti
pendapat, paham,haluan. Sedangkan kontemporer adalah pada waktu yang sama;
semasa; sewaktu. Dari pengertian tersebut teologi Kontemporer adalah aliran
yang berupaya menjawab permasalahan yang muncul pada masa kini.
Teologi ini muncul sebagai respon persoalan
kemanusiaan yang timbul di berbagai belahan dunia. Karena teologi klasik tidak
lagi sesuai dengan permasalahan yang muncul pada masa kini, selain itu tidak
dapat di jadikan ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi
tindakan dalam kehidupan konkrit manusia.
Teologi Kontemporer disebut juga teologi
pembebasan, teologi Lingkungan, Islam kiri atau teologi kiri. Meski demikian
semuanya mengarah pada kesejahteraan hidup dan lingkungan. Adapun tokoh-tokoh
yang gigih mejalankan nya diantaranya yaitu, Asghar Ali Engineer,Maulana
Farid Essack, Muhammad Yunus, Hasan Hanafi, dll.
Jadi, teologi kontemporer itu merupakan hasil
pemikiran yang muncul karena adanya persoalan kemanusiaan dan berusahan
menaganinya.
3.2 Saran
Kami sadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, kami berharap kekurangan dalam makalah ini untuk
dibenahi dan untuk mendatang semoga memberi manfaat bagi pembaca dan
pembuat. Wassalam
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 1995. Filsafah Kalam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Ali Engineer, Asghar. 1999. Islam
dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2001. Islam:
Agama Ramah Lingkungan, terj. Abdullah at. Al. Jakarta:Pustaka.
Amaladoss, Michael. 2001. Teologi
Pembebasan Asia, terj. A. Widyamartaya at. Al. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.
Ariffin, Bey. 2005. Samudra Al-fatiha, Surabaya:
Bina Ilmu.
Hanafi, Hasan. Dirasat Islamiyyah. Maktabah
al-Anjilo al-Mishriyyah, Kairo.
______. 2007. Kiri Islam, dalam
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah
Kritis atas Pemikiran Hassan Hanaf. terj. Imam Aziz dan Jadul Maula.
cet. VII. Yogjakarta: LKIS.
Hanif. 1991. Min al-Aqidah ila al-Tsaurah,I. Kairo:
maktabah matbuli.
Kiswati, Tsuroya. tanpa tahun. Al-Juwaini:
Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam. Jakarta: Erlangga.
Kusnadiningrat, E. 1999. Teologi dan
Pembebasan: Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi, Jakarta: Logos.
Lubis, Ahmad Dayan. 2006. Teologi pembebasan.
dalam Isu-Isu Islam, dalam Katimin, et. al. (ed.). Isu-Isu Islam
Kontemporer. Bandung: Citapustaka Media.
Lubis, Ibrahim. Makalah
teologi kontemporer. (http://makalahmajannaii.blogspot.com), diakses tanggal 27 Mei 2012.
(http://akarpondation-wardress.com/2003/03/15.menggagas-kembali
teologi- lingkungan),diakses tanggal 28 Meil 2012.
Maarif, Ahmad Syafii. 1995. Membumikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Sahidin,Ahmad. Teologi. http://
gerbong Cendikian com/, UIN Bandung,diakses 28 Mei 2012.
Suseno, Frans Magnis. 1999. Pemikiran
Karl Marx dari sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionism. Jakarta:
gramedi.
Rozak, Abdul. 2006. et. al. Ilmu Kalam:
Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia.
(http://arismarfai,staff,ugm,ac.id/ lingkungan), diakses tanggal 28 Mei
2012.
(http://akarpondation-wardress.com),diakses tanggal 27 Mei 2012.
(http ://cakfata-denbagus,
bologspot.com/2008/10/teologi-lingkungan islam),diakses tanggal 27 Mei 2012.
[8] Frans Magnis
Suseno, Pemikiran Karl Marx dari sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme, gramedi, Jakarta, 1999, hlm. 73
[9] Hassan hanafi, Kiri Islam, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam
Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan
Hanafi, terj. Imam Aziz dan
Jadul Maula, LKIS,Yogjakarta, cet. VII, 2007, hlm.116
[11] Ahmad Dayan Lubis, Teologi pembebasan, dalam Isu-Isu Islam, dalam Katimin, et. al. (ed.), Isu-Isu Islam Kontemporer, Citapustaka Media, Bandung, 2006, hlm. 123
[15] Ahmad Sahidin, Teologi, http:// gerbong
Cendikian com/, UIN Bandung, download,diakses 28 Mei 2012
[17] Abdul Rozak, et. al, Ilmu Kalam: Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 234.
[18] E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan: Gagasan Islam Kiri
Hasan Hanafi, Logos,Jakarta, 1999,
hlm. 64
[21] Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia, terj. A. Widyamartaya at. Al, Yokyakarta,
Pustaka Pelajar, 2001, hlm.218
[31] Ibrahim Lubis, Makalah teologi
kontemporer ,http://makalahmajannaii.blogspot.com, diakses tanggal 27 Mei 2012
[32] http://akarpondation-wardress.com/2003/03/15.menggagas-kembali
teologi-lingkungan, donwload,diakses tanggal 28 Meil 2012
[33] Yusuf Al-Qaradhawi, Islam: Agama Ramah Lingkungan, terj. Abdullah at. al, Pustaka, Jakarta,
2001, hlm. 5
[34]Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional
Dalam Islam, Erlangga, Jakarta,
tanpa tahun, hlm. 41
[43]http
://cakfata-denbagus,bologspot.com/2008/10/teologi-lingkungan islam,diakses
tanggal 27 Mei 2012
0 Komentar
Penulisan markup di komentar