BAB I
PEMBAHASAN
PENDEKATAN
KONSELING NON - DIREKTIF
A.
Prinsip-prinsip Konseling Non-Direktif
1.
Pengertian
Konseling Non-Direktif
Client-Centered
Therapy atau Psikoterapi Non-Direktif adalah suatu metode perawatan psikis yang
dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai
gambaran yang serasi antara ideal self (diri klien yang ideal) dengan actual
self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).
2.
Ciri-ciri Hubungan Non-Direktif
a.
Menempatkan klien pada kedudukan
sentral, klien aktif untuk mengungkapkan dan mencari pemecahan masalah. Jadi,
hubungan ini menekankan pada aktivitas klien dan tanggung jawab klien sendiri.
b.
Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang
memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Jadi, konselor berperan
membantu klien dalam merefleksikan sikap dan perasaan-perasaannya.
Ciri-ciri hubungan otoriter:
a.
Klien atau siswa adalah merupakan objek dari subjek yang memegang otoritas
(guru, orang tua, atau konselor). Sedangkan siswa/klien harus mengikuti dan
taat kepada apa yang digariskan oleh pemegang otoritas.
b.
Pemegang otoritas adalah orang yang paling tahu segala hal, dialah yang
menunjukkan, mencarikan atau memberikan jalan pada klien. Jadi, pemegang
otoritas adalah berperan sebagai faktor penentu bagi klien.
3.
Dasar Pandangan Non-Direktif tentang Individu
Konseling non-direktif sering pula
disebut “client-centered counseling”, yang memberikan suatu gambaran
bahwa proses konseling yang menjadi pusatnya adalah klien, dan bukan konselor.
Karena itu, dalam proses konseling ini kegiatan sebagian besar diletakkan di
pundak klien itu sendiri. Dalam pemecahan masalah, maka klien itu sendiri
didorong oleh konselor untuk mencari serta menemukan cara yang terbaik dalam
pemecahan masalahnya.
Konseling non-direktif dikembangkan
oleh Carl R. Rogers guru besar dalam Psikologi dan Psikiatri, Universitas
Wisconsin, dan dipandang sebagai Bapak Konseling Non-Direktif (client-centered
counseling).
a)
Dasar filsafat Rogers mengenai manusia
Dasar filsafat Rogers mengenai
manusia berorientasi kepada filosofi humanistic. Dasar filsafat Rogers dimaksud
ialah bahwa:
1)
Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke muka, dan realistik.
2)
Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif, dan dapat dipercaya.
3)
Manusia mempunyai tendensi dan usaha dasar untuk mengaktualisasi pribadi,
berprestasi dan mempertahankan diri.
4)
Manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan membuat
pemilihan yang benar, apabila ia diberi situasi yang bebas dari ancaman.
b)
Pokok-pokok teori Rogers
Ada tiga pokok teori mengenai
kepribadian yang di kemukakan oleh Rogers yang mendasari teknik konselingnya.
Di antaranya adalah sebagai berikut :
(1) Organisme
Organisme
yaitu totalitas inividu yanf memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
(a) Bereaksi
secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang teratur terhadap medan phenomenal
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
(b) Memiliki
motif dasar, yaitu mengaktualisasi, mempertahankan dan mengembangkan diri.
(c)
Organisme kemungkinan melambangkan pengalaman-pengalaman, sehingga menjadi
disadari atau menolak untuk melambangkan pengalaman-pengalaman tersebut
sehingga tetap tidak disadari, atau kemmungkinan tidak memperdulikan pengalaman
tersebut.
(2) Medan
phenomenal
Medan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah
dialami. Pengalaman tersebut disadari atau tidak tergantung dari apakah
pengalaman tersebut disimbolkan atau tidak. Medan phenomenal hanya dapat
mengetahui pengalaman seseorang melalui kesimpulan atas dasar empatik (empatic
inference). Kesadaran tercapai kalau pengalaman itu disimbolisasikan.
Menurut Rogers, pengalaman terdiri dari :
a)
Pengalaman yang tersimbolisasikan, dan
b)
Pengalaman yang tidak tersimbolisasikan.
Organisme bereaksi terhadap kedua hal tersebut. Kemungkinan
ada bahwa pengalaman tidak dapat dites dengan kenyataan, sehingga mungkin
dilaksanakan tindakan yang tak realistis.
(3) Self
Self merupakan bagian yang terpisah dari medan phenomenal,
yang berisi pola pengalaman dari penilaian yang sadar dari subjek. Dari
pengalaman-pengalaman, seseorang akan dapat membentuk pola pengamatan dan
penilaian terhadap diri sendiri secara sadar baik okrang tersebut sebagai
objek. Self ini juga dinamakan juga self-concept (konsep diri).
Berkaitan dengan client-centered counseling dari Carl R.
Rogers menyatakan bahwa konseling yang berpusat pada klien haruslah dilandasi
pada pemahaman klien tentang dirinya. Atau dengan kata lain pendekatan. Rogers
mentitikberatkan kepada kemampuan klien untuk menentukan sendiri
masalah-masalah yang terpenting bagi dirinya dan memecahkan sendiri masalahnya.
Campur tangan konselor sedikit sekali. Klien akan mampu menghadapi sifat-sifat
dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan terancam dan
cemas, sehingga ia menuju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai yang selama
ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu mengubah aspek-aspek dirinya sebagai
sesuatu yang dirasakan perlu diubah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsepdiri (self-concept
or self structure) adalah merupakan gambaran seseorang tentang dirinya
sendiri. Gambaran yang lengkap tentang dirinya meliputi berbagai kemampuan,
kelemahan, sifat-sifatnya, dan bagaimana hubungan dirinya dengan lingkungannya.
Jadi, konsep diri adalah bagaimana inividu menyadari dirinya sendiri, dan
mengenal dirinya sendiri.
c)
Teori kepribadian Rogers
Rogers memandangmanusia sebagai makhluk sosial, maju terus,
rasional, dan realistik. Manusia bukan robot atau mesin, bukan pula kumpulan
dan reaksi-reaksi terhadap berbagai respon dan bukan objek. Manusia itu adalah
subjek yang utuh, aktif dan unik. Pendapat Carl R. Rogers dirumuskan dalam 19
dalil (Carl R. Rogers Ph.D., Client-Centered Therapy, Houghton-Mifflin
Company, Boston 1962, halaman 483-424) disarikan sebagai berikut:
(1)
Tiap inividu ada dalam dua pengalamannya yang selalu berubah-ubah, yang
pusatnya adalah dia. Manusia selalu ada dalam dunianya, yang dunia sebagaimana
dihayatinya. Maknanya pada inividu bersangkutan. Karena itu sumber informasi yang
paling tepat mengenai seseorang adalah orang yang bersangkutan itu sendiri.
(2)
Organisme bereaksi terhadap medan termpat dia ada menurut penghayatannya
mengenai medan itu. Medan persepsi itu adalah realistas bagi inividu yang
bersangkutan. Sesuatu hal yang secara objektif sama mungkin berarti berbeda
bagi inividu lain atau bagi inividu yang sam dalam kondisi yang berlainan.
(3)
Organisme bereaksi terhadap medan phenomenal sebagai suatu kesatuan yang
terorganisasi. Apa yang dilakukan inividu dalam sesuatu keseluruhan, meliputi
keseluruhan kepribadiannya.
(4)
Organisasi mempunyai satu kencenderungan, dan dorongan dasar, yaitu
mangaktualisasikan, mempertahankan, dan meningkatkan organisme yang menghayati.
Pada diri inividu terdapat dorongan untuk maju dan dorongan untuk mengejar
perkembangan yang lebih lanjut dan meningkat, yang pada akhirnya mencapai
aktualisasi dir, yaitu pribadi yang dalam taraf optimal.
(5)
Perilaku pada dasarnya adalah terarah kepada tujuan, yang dilakukan oleh
inividu untuk memuaskan kebutuhannya sebagaimana dihayatinya dalam dunianya,
yaitu dunia menurut penghayatannya.
(6)
Emosi menyertai dan pada umumnya menunjang perilaku yang terarah pada tujuan
itu. Emosi ada sebagai dari reaksi total organisme terhadap phenomenalnya.
Dengan artilain dapat dikatakan bahwa kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang
diambil oleh inividu adalah sesuai dengan konsep dirinya (self-concept).
Sehingga cara yang terbaik untuk mengubah perilaku adalah dengan terlebih
dahulu mengubah konsep mengenai dirinya.
(7)
Sudut pandang terbaik untuk memahami perilaku inividu adalah kerangka acuan
yang ada dalam diri inividu yang bersangkutan. Dengan arti lain bahwa untuk
memahami perilaku inividu ialah dengan cara memahami kerangka oreantsinya
(bagaimana inividu memandang dunia sekitarnya)
(8)
Suatu bagian dari medan penghidupan secara keseluruhan secara berangsur-angsur
terdefinisikan menjadi diri atau self.
(9)
Sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan, terutama sebagai hasil dari
interaksi evaluasi dengan orang-orang lain, terbentuklah “diri” itu, yaitu
suatu konsep pola kehidupan aku yang kenyal dan konsisten, yang padanya
terletak pola sistem nilai. Atau dengan kata lain “konsep diri” itu terbentuk
karena inividu berinteraksi dengan lingkungan.
(10)
Nilai-nilai yang terletak pada pengalaman, dan nilai-nilai yang merupakan
bagian dari struktur diri, adalah nilai-nilai yang dihayati langsung oleh
inividu atau yang diintrojeksikan dari penghayatan orang lain, tetapi yang
telah diwarnai oleh makna yang diberikan oleh inividu yang bersangkutan. Jadi,
nilai-nilai yang membentuk konsep diri itu diperoleh inividu secara langusng
atau dari orang lain.
(11)
Hal-hal dalam dunia pengalaman seseorang itu ditangkap oleh orang yang
bersangkutan dalam tiga cara, yaitu :
(a)
Dilambangkan, dihayati, dan diorganisasikan ke dalam hubungan tertentu dengan
diri,
(b)
Diabaikan karena tidak ada terlihat hubungan dengan struktur diri, atau
(c)
Ditolak atau dilambangkan dengan perubahan karena hal yang dihadapi itu tidak
konsisten dengan struktur diri.
Jadi, pengalaman yang diperoleh inividu, mungkin akan
diterima dan dihubungkan dengan konsep diri, mungkin pula ditolak, dibuang, atau
disingkirkan karena tidak cocok dengan konsep diri.
(12)
Kebanyakan cara-cara berperilaku yang dijalankan oleh inividu adalah perilaku
yang konsisten dengan konsep diri. Perilaku seseorang itu sejalan dengan konsep
tentang dirinya.
(13)
Dalam beberapa hal perilaku mungkin ditimbulkan oleh pengalaman organik atau
kebutuhan yang belum dilambangkan. Perilaku yang demikian itu tidak konsisten
dengan struktur diri, tetapi yang demikian itu sebenarnya perilaku menjadi
“bagian” dari inividu yang bersangkutan atau perilaku itu dapat berasal
dari pengalaman dan dapat pula berasal dari kebutuhan yang belum
diketahui.
(14)
Penyesuaian psikologis yang tidak baik terjadi bilamana organisme menolak
menyadari pengalaman-pengalaman dan viseral yang penting, yang karenanya
dilambangkan dan diorganisasikan ke dalam struktur diri. Apabila hal yang
demikian ini berlangsung, maka akan terjadi ketegangan psikologis. Ganguan
psikologis (mental) terjadi apabila inividu menolak kenyataan yang tidak sesuai
dengan konsep dirinya.
(15)
Penyesuainan psikologis yang baik terjadi apabila diri itu memungkinkan semua
pengalaman sensoris dan viseral organisme dapat diasimilasikan dengan simbolik
kedalam relasasi yang konsisten dengan konsep diri.
(16)
Setiap pengalaman yang tidak konsisten dengan organissasi atau struktur diri
mungkin diamati sebagai ancaman, dan semakin banyak struktur pengalaman yang
demikian kukuhlah diri itu diorganissasikan, untuk mempertahankan diri.
(17)
Pada kondisi-kondisi tertentu, bila sama sekali tidak menimbulkan ancaman
terhadap struktur diri, maka pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengan
struktur diri itu mungkin diamati, diuji, dan struktur diri direvis agar dapat
mengasimilasi dan mencakup pengalaman-pengalaman yang demikian itu. Dengan
demikian, dapat dikatakan apabila pengalaman baru itu tidak menimbulkan
ancaman, maka pengalaman ini akan diterima dan dapat merubah atau memperbaiki
konsep diri.
(18)
Apabila inividu mengamati dan menerima semua pengalamannya yang sensoris dan
viseral kedalam suatu integral, maka ia akan dapat lebih memahami dan menerima
orang lain. Dengan arti kata lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa
apabila pengalaman sosial diterima dan membentuk konsep diri, kemudian inividu
dapat memahami inividu lainnya, maka ia pun akan lebih diterima oleh
lingkungannya.
(19)
Apabila inividu mengamati dan menerima lebih banyak pengalaman organismenya,
maka ia akan menyadari bahwa ia sedang menggantikan sistem nilai-nilainya yang
sekarang dengan baru, dengan suati proses evaluasi organis.
Teori Rogers ini telah menjadi dasar
pengembangan konseling non-direktif dan usaha-usaha lain yang bertujuan
membantu inividu untuk mengembangkan apa yang telah ada pada dirinya.
Dengan memahami teori ini, maka akan dipahami pula hubungan dunia kehidupan -
pengalaman-konsep diri - penerimaan lingkungan - kondisi sehat mental.
4.
Karakteristik Konseling Non-direktif
Peran klien yang besar dibandingkan
dengan konselornya dalam hubungan konseling adalah merupakan karakterisisik
utama dari konseling non-direktif.
Karakteristik untuk dari konseling non-direktif,
masing-masing menekankan pada:
(a)
Tanggung jawab dan kemampuan klien dalam menghadapi kenyataan.
Seseorang berfungsi sempurna apabila memiliki pemahaman
tentang dirinya sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru. Untuk memperoleh
pemahaman akan dirinya, terbuka hal-hal yang baru itu haruslan diberikan suatu
kesempatan, pengalaman dan tanggung jawab untuk menghadapi kenyataan. Kenyataan
itu pada hakikatnya adalah sesuatu yang diamati dan dialami inividu (Carl R.
Rogers). Jadi, klien didorong untuk menentukan pilihan dan keputusan serta
tanggung jawab atas pilihan dan keputusan yang telah di ambilnya
(b)
Pengalaman-pengalaman sekarang.
Konseling non-direktif tidak beorientasi pada pengalaman
masa lalu, tetapi
menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman sekarang. Untuk mengungkapkan
pengalaman
dan permasalahannya yang dihadapi sekarang ini (saat ini), konselor mendorong
klien untuk mengungkapkannya dengan sikap yang empatik, terbuka, asli (tidak
berpura-pura), dan permisif.
(c)
Konseling non-direktif tidak bersifat dogmatis.
Konseling non-direktif bukanlah suatu bentuk hubungan atau
pendekatan yang bersifat kaku atau merupakan suatu dogma. Tetapi merupakan
suatu pola kehidupan yang berisikan penukaran pengalaman, dimana konselor dan
klien memperlihatkan sifat-sifat kemanusiaan dan berpartisipasi dalam menemukan
berbagai pengalaman baru.
(d)
Konseling non-direktif menekankan kepada persepsi klien.
Konseling ini mengutamakan dunia fenomenal dari klien.
Konselor berusaha memahami keseluruhan pengalaman yang pernah dialami (dunia
fenomenal) dari klien dari sudut pandang persepsi klien sendiri, apakah itu
berupa persepsi klien tentang dirinya sendiri maupun tentang dunia luar.
(e)
Tujuan konseling non-direktif ada pada diri klien dan tidak ditentukan oleh
konselor.
Konseling non-direktif ini menempatkan klien pada kedudukan
sentral, sedangkan konselor berusaha membantu klien mengungkap dan menemukan
pemecahan masalah oleh dirinya sendiri. Jadi, tujuan konseling dengan
sendirinya ada dan di tentukan oleh klien itu sendiri.
5.
Fungsi Konselor dalam Konseling Non-Direktif.
Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh
seorang konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :
(a)
Menciptakan hubungan yang bersifat permisif.
Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh
pengertian, penuh penerimaan, kehangatan, terhindar dari segala bentuk
ketegangan, tanpa memberikan penilaian baik positif maupun negatif. Dengan
terciptanya hubungan yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan
ketegangan-ketegangan, perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri klien.
Menciptakan hubungan permisif bukan saja secara verbal tetapi juga secara
nonverbal.
(b)
Mendorong pertumbuhan pribadi
Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan saja
membantu klien untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya,
tetapi lebih dari itu adalah berfungsi untuk menumbuhkan perubahan-perubahab
yang fudamental (terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan konseling di
sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan pengembangan pribadi klien.
(c)
Mendorong kemampuan memecahkan masalah.
Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam
membantu klien agar ia mengambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi,
dengan demikian salah satu potensi yang perli dikembangkan atau
diaktualisasikan diri klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri.
6.
Persyaratan Sifat dan Sikap Seorang Konselor Non-Direktif.
Beberapa persyaratan yang berhubungan dengan sifat dan sikap agar dapat
melaksanakan hubungan konseling non-direktif, diantaranya adalah sebagai berikut
:
a) Kemampuan berempati.
Empati pada dasarnya adalah mengerti
dan dapat merasakan orang lain (klien). Empati ini akan lebih lengkap dan
sempurna apabila diiringi oleh pengertian dan penerimaan konselor tentang apa
yang dipikirkan oleh klien. Empati adalah saling hubungan akan dua orang, dan
kuat lemahnya empati itu sangat bergantung pada saling pengertian dan
penerimaan terhadap suasana yang diutarakan oleh klien. Empati yang dalam,
dapat dirasakan oleh kedua belah pihak, yaitu baik oleh konselor maupun oleh
klien itu sendiri
b) Kemampuan menerima klien.
Kemampuan konselor untuk benar-benar
menerima klien sebagaimana adanya adalah memegang peran penting dalam hubungan
konseling. Dasar dari kemampuan ini adalah penghargaan terhadap orang lain
(dalam diri kllien) sebagai seorang yang pada dasarnya baik. Dalam menerima
klien ini ada dua unsur yang perlu diingat ialah :
a).
Konselor berkehenda untuk membiarkan adanya perbedaan antara konselor dengan
klien.
b).
Konselor menyadari bahwa pengalaman yang akan dilalui oleh klien ada usaha yang
penuh dengan perjuangan, pembinaan, dan perasaan.
Penerimaan konselor terhadap klien
secara langsung bersangkut paut dengan kemampuan konselor untuk tidak
memberikan penilaian tertentu terhadap klien.
c) Kemampuan untuk menghargai klien.
Seorang
konselor non-direktif harus menghargai pribadi klien tanpa syarat apapun.
Apabila rasa dihargai dirasakan oleh klien, maka timbullah rasa percaya bahwa
dirinya mempunyai harga sebagai individu (tidak dipandang rendah/tidak
berarti), maka klien akan berani mengemukakan segala masalahnya, maka timbul
pula keinginan bahwa dirinya berharga untuk mengambil keputusan bagi dirinya
sendiri. Konselor harus dapat menerima klien sebagaimana adanya. Dengan sikap
dan kemampuan yang dimiliki konselor untuk menghargai klien tanpa syarat, serta
menerima klien apa adanya secara langsung akan membina hubungan yang akrab
penuh rasa persahabatan, hangat, terbuka dengan kliennya.
d) Kemampuan untuk memperhatikan.
Kemampuan
memperhatikan menuntut keterlibatan sepenuhnya dari konselor terhadap segala
sesuatu yang dikemukakan oleh klien. Kemampuan ini memerlukan keterampilan
dalam mendengarkan dan mengamati untuk dapat mengetahui dan mengerti inti dari
isi dan suasana perasaan bagaimana yang diungkapkan klien. Melalui mendengarkan
dan mengamati itu konselor tidak hanya menangkap dan mengerti apa yang
dikemukakan oleh klien, tetapi juga bagaimana klien menyampaikan hal itu.
Bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, klien menginginkan perhatian penuh
terhadap apa yang diungkapkan oleh klien, baik melalui kata-kata (verbal)
maupun isyarat (non-verbal).
e) Kemampuan membina keakraban.
Keakraban
merupakan syarat yang sangat penting demi terbinanya hubungan yang nyaman dan
serasi antara konselor dan klien. Keakraban ini akan tumbuh terus-menerus dan
terbina dengan baik apabila konselor benar-benar menaruh perhatian dan menerima
klien dengan permisif. Perhatian dan penerimaan yang murni (tidak semu dan
palsu) ini sebenarnya tidak dipaksakan, direncanakan ataupun dibuat-buat. Seorang
konselor yang memaksakan dirinya menaruh perhatian dan menerima klien, maka
wujud perhatian itu tidak akan wajar, ketidakwajaran itu sendiri akan mewarnai
hubungan tersebut. Keakraban yang murni dan wajar diwarnai oleh adanya
perhatian, tanggapan, dan keterlibatan perasaan secara tulus dan tanpa pamrih.
Keakraban itu adalah lebih dalam dari hanya sekadar ucapan salam atau
mengenakkan hati klien. Lebih jauh dari itu keakraban itu merupakan keastuan
suasana hubungan yang ditandai oleh rasa saling percaya mempercayai, kerjasama,
kesungguhan, ketulusan hati, dan perhatian.
f) Sifat keaslian
(gunuin)
Seorang
konselor non-direktif harus memperlihatkan sifat keaslian dan tidak
berpura-pura. Kepura-puraan dalam hubungan konseling menyebabkan klien menutup
diri. Jadi, proses konseling non-direktif mengharapkan keterbukaan dari klien.
Klien akan terbuka apabila konselor dapat dipercaya dan bersungguh-sungguh.
g) Sikap terbuka
Konselin
non-direktif mengharapkan adanya keterbukaan dari klien baik untuk mengemukakan
segala masalahnya maupun untuk menerima pengalaman-pengalaman. Keterbukaan dari
klien akan terwujud apabila ada keterbukaan dari konselor pula.
B. Proses
Konseling Non-Direktif
1.
Ilustrasi Kasus
2.
Tujuan
Secara umum tujuan yang ingin
dicapai melalui pendekatan Konseling Non-Direktif adalah untuk membantu klien
agar berkembang secara optimal sehingga ia mampu menjadi manusia yang berguna.
Dimana tujuan dasar Konseling Non-Direktif secara rinci adalah sebagai berikut:
1.
Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang
dihadapinya.
2.
Menumbuhkan kepercayaan diri klien untuk mengambil satu atau
serangkaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang
lain.
3.
Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk
belajar mempercayai orang lain dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk
menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.
4.
Memberikan kesadaran
diri pada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup social
budaya yang luas, dimana ia masih memiliki keunikan tersendiri.
5.
Menumbuhkan suatu
keyakinan pada klien bahwa dirinya terus bertumbuh dan berkembang (process
of becoming).
3. Ciri-ciri Proses
Adapun ciri-ciri dalam pendekatan Konseling Non-Direktif,
yaitu:
1. Klien berperan lebih dominan
daripada konselor. Dimana konselor hanya sebagai fasilitator atau cermin.
2. Keputusan akhir tetap berada
ditangan klien, sedangkan konselor berperan dalam mengarahkan klien untuk mampu
mengambil keputusan sendiri atas masalah yang dihadapinya.
3. Dalam proses Konseling Non-Direktif
menekankan pada pentingnya hubungan yang bersifat permisif, intim sebgai
persyaratan mutlak bagi berhasilnya hubungan konseling. Komunikasi antara
konselor dan klien akan lebih mudah apabila berbentuk keakraban (raport),
karena keakraban adalah dasar membentuk kepercayaan antara klien dan konselor.
Dimana konselor harus memberikan keleluasaan pada klien untuk mengungkapkan
perasaannya dan pada saat yang bersamaan konselor memisahkan semua informasi
yang relevan dengan tujuan dari konseling,
4. Konselor harus benar-benar menerima
klien apa adanya dan sebelum memberikan bantuan konselor harus menghadapi klien
dengan tulus sebagai individu yang berpotensi untuk mengambil keputusan sendiri
atas permasalahannya.
5. Proses konseling tidak bisa ditentukan oleh
konselor. Sehingga lebih cepat klien mengungkapkan masalahnya, maka secepat itu
pula konselor dapat mengarahkan klien dalam menyelesaikan masalahnya.
6. Empati menduduki tempat terpenting.
Karena dengan empati konselor dapat mengerti dan merasakan perasaan klien
seutuhnya.
4. Langkah-langkah
Adapun menurut Carl R. Rogers, ada
dua belas langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan
konseling Non-Direktif. Namun kedua belas langkah yang dikemukan itu bukanlah
langkah yang baku, dapat diubah-ubah. Langkah-langkah dimaksud adalah sebagai
berikut:
1.
Klien datang untuk meminta bantuan kepada konselor secara
sukarela.
Bila klien datang atas petunjuk
seseorang, maka konselor harus mampu menciptakan suasana permisif, santai,
penuh keakraban dan kehangatan, serta terbuka, sehingga klien dapat menetukan
sikap dalam pemecahan masalahnya.
2.
Merumuskan situasi bantuan.
Dalam merumuskan konseling sebagai
bantuan untuk klien , klien didorong untuk menerima tanggung jawab untuk
melaksanakan pemecahan masalahnya sendiri. Dimana dorongan ini hanya bisa
dilakukan apabila konselor yakin pada kemampuan klien untuk mampu membantu
dirinya sendiri.
3.
Konselor mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya
secara bebas, berkaitan dengan masalahnya.
Dengan menunjukkan sikap permisif,
santai, penuh keakraban, kehangatan, terbuka, serta terhindar dari
ketegangan-ketegangan, memungkinkan klien untuk mengungkapkan perasaannya,
sehingga dirasakan meredanya ketegangan atau tekanan batinnya.
4.
Konselor secara tulus menerima dan menjernihkan perasaan
klien yang sifatnya negative dengan memberikan respons yang tulus dan
menjernihkan kembali perasaan negative dari klien.
5.
Setelah perasaan
negative dari klien terungkapkan,maka secara psikologis bebannya mulai
berkurang. Sehingga ekspresi-ekspresi positif akan muncul, dan memungkinkan
klien untuk bertumbuh dan berkembang.
6.
Konselor menerima perasaan positif yang diungkapkan klien.
7.
Saat klien mencurahkan perasaannya secara berangsur muncul
perkembangan terhadap wawasan (insight) klien mengenal dirinya,
dan pemahaman (understanding)serta penerimaan diri tersebut.
8.
Apabila klien telah memiliki pemahaman terhadap masalahnya
dan menerimanya, maka klien mulai membuat keputusan untuk melangkah memikirkan
tindakan selanjutnya. Artinya bersamaan dengan timbulnya pemahaman, muncul
proses verfikasi untuk mengambil keputusan dan tindakan memungkinkan yang akan
diambil.
5. Dasar Pertimbangan Penggunaan
Pertimbangan yang menjadi pendorong
digunakannya konseling Non-Direktif didasarkan pada :
1. Sifat Klien
Dalam proses konseling diharapkan
konselor mampu memahami sifat-sifat kliennya secara baik. Karena pada
hakikatnya klien sebagai individu memiliki keunikan tersendiri. Dimana
Konseling Non-Direktif sebagai suatu pendekatan memberikan keleluasaan pada
klien yang memiliki sifat-sifat: agresif, terbuka, terus terang, serta mampu
mengungkapkan masalahnya secara terus terang, bebas, dan lancar.
2. Sifat Konselor
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seorang konselor dalam Konseling Non-Direktif, yaitu:
a.
Kemampuan dan kesediaan untuk menjadi pendengar yang baik.
Disamping itu juga bersedian untuk menyimak, mengkaji, dan menangkap apa yang
diungkapkan oleh klien.
b.
Kemampuan menciptakan hubungan keakraban(raport). Karena
hal ini merupakan dasar dalam membentuk kepercayaan dan pengertian antara
konselor dan klien.
c.
Kesediaan konselor untuk meluangkan waktu yang cukup banyak,
karena Konseling Non-Direktif berpotensi untuk memakan waktu yang lama.
1. Sifat Masalah
Dalam Konseling Non-Direktif
pada dasarny dapat digunakan pada setiap masalah yang dihadapi klien. Tetapi
konseling ini lebih tepat digunakan untuk masalah-masalah yang bersifat konflik
psikologis. Konflik psikologis yang dimaksudkan adalah yang terkait dengan
ketegangan-ketegangan psikologis, sebagai akibat tertekannya individu oleh
lingkungan maupun dirinya sendiri.
6. Kelemahan dan Kelebihan
1.
Kelemahan
Penggunaan pendekatan konseling Non-Direktif memiliki
beberapa keterbatasan:
a.
Cara Pendekatan yang berpusat pada klien sedangkan waktu
yang tersedia terbatas. Sehingga bila konselor tidak mampu mengatur arah
pembicaraan, maka akan menyita banyak waktu dalam wawancara.
b.
Keterbatasan
kemampuan dan keberanian klien dalam menyampaikan permasalahannya secara
verbal.
c.
Kesukaran klien dalam memahami kesukarannya sendiri
d.
Pendekatannya menuntut kedewasaan klien dalam bersikap untuk
memahami dirinya dan memecahkan masalahnya sendiri.
e.
Keterbatasan konselor dalam menghadapi masalah klinis akibat
konselor belum terlatih dalam masalah psikologis.
6. Kelebihan
Pendekatan konseling Non-Direktif biasanya banyak membantu dalam
proses konseling, terutama bila:
a. Klien dalam kondisi emosional yang
labil sehingga sulit berpikir logis
b. Konselor memiliki kemampuan yang cukup tinggi
dalam menangkap emosi yang ditonjolkan klien dan merefleksikan kembali ke klien
dalam bahasa dan tindakan yang sesuai.
c. Klien mampu merefleksikan dirinya
baik itu perasaan maupun pikirannya melalui penyampaian secara verbal.
Pendekatan ini sangat cocok dipergunakan sebab masalah klien
tetap menjadi tanggung jawab klien, sekalipun konselor memberikan beberapa
bantuan berupa pertanyaan penggali (probbing), namun penekanan tetap
berpusat pada kemampuan refleksi diri klien terhadap masalahnya.
Konsep Dasar Konseling Rasional-Emoti
1.
Ciri-ciri Konseling Rasional-Emotif
a.
Dalam menelusuri masalah klien yang dibantunya, konselor
berperan lebih aktif dibandingkan dengan klien
b.
Dalam proses hubungan konseling harus tetap diciptakan
dan dipelihara hubungan baik dengan klien.
c.
Tercipta dan terpeliharanya hubungan baik ini di
pergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah cara berfikirnya yang
tidak rasional menjadi rasional.
2.
Hakekat masalah yang dihadapi klien
Masalah yang dihadapi klien dalam
pendekatan Konseling Rasional-Emotife itu muncul disebabkan karena
ketidaklogisan klien dalam berfikir. ketidaklogisan berpikir ini selalu
berkaitan dan bahkan menimbulkan hambatan gangguanatau kesulitan emotional
dalam melihat dan menafsirkan objek atau fakta yang dihadapinya.
Menurut konseling rational emotif ini,
individu merasa dicela, diejek dan tidak diacuhkan oleh individu lain kerena ia
memiliki keyakinan dan berpikir bahwa individu lain itu mencela dan tidak
mengacuhkan dirinya.
3.
Tujuan Konseling Rasional - Emotif
Tujuan utama dari konseling rational
emotif ialah menunjukkan dan menyadarkan klien bahwa cara berpikir yang tidak
logis itulah merupakan penyebab gangguan emosionilnya. konseling rational -
emotif ini bertujuan membantu klien membebaskan dirinya dari cara berpikir atau
ide - idenya yang tidak ogis dan menggantinya dengan cara - cara yang logis.
II. 2 Proses dan teknik rasinal - emotif
1. Fungsi pengumpulan data dalam konseling rasional -
emotif
Dalam konseling rasional - emotif ini
tidak banyak melkkan pengumpulan data untuk keperluan analisis maupun diagnosis
sebagaimana dalam konseling klinikal.
Alat - alat pengumpul data yang
bersifat testing dan non testing sedikit sekali di pergunakan dalam konseling ini.
karena diagnosis dalam konseling ini dilakukan untuk membuka ketidaklogisan
pola pikir klien.
2. Peranan
konselor dan langkah-langkah konseling
Peranan konselor dalam proses konseling
rasional-emotif akan nampak dengan jelas dalam langkah konseling sebagai
berikut:
a. Langkah Pertama : Dalam Langkah ini konselor berusaha menunjukkan
kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinannya yang
tidak rasional.
b. Langkah Kedua : Peranan Konselor
adalah menyadarkan klien bahwa pemecahan masalah yang dihadapinya merupakan
tanggung jawab sendiri.
c. Langkah Ketiga : Konselor berperan
mangajak klien menghilangkan cara berpikirdan gagasan yang tidak rasional.
d. Langkah keempat : Peranan konselor
adalah mengembangkan pandangan - pandangan yang realistis dan menghindarkan
diri dari keyakinan yang tidak rasional.
3.
Teknik - teknik konseling Rasional - Emotif
Inti daripada konseling rasional emotif
ialah menghilangkan cara berpikir yang tidak logis yang menimbulkan gangguan
emosionilnya. Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan beberapa teknik
konseling rasional - emotif sebagai berikut :
a.
Teknik Pengajaran
Dalam
konseling rasional-emotif koselor mengambil peranan lebih aktif dari klien.
b
Teknik Persuasif
Meyakinkan
klien untuk mengubah pandangannya, karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak
benar.
c
Teknik Konfrontasi
Konselor
menyerang ketidak logisan berfikir klien dan membawah klien kearah berfikir
logis empiris
d Teknik Pemberian Tugas
Dalam
teknik konselor menugaskan klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu
dalam situasi nyata
II. 3 Landasan konseling Rasional-Emotif
1. Pandangan Tentang Hakikat Manusia
Beberapa pandangan tentang hakikat
manusia yang dilanjutkan oleh Albert Ellis, yang mewarnai teori rational-Emotif
Therapy:
a Manusia dipandang sebagai makhluk
yang rasional dan juga tidak rasional.Kecenderungan yang dimiliki oleh manusia
ini akan nampak dengan jelas dan tergambar dalam bentuk tingkah lakunya yang
nyata
b. Pikiran, perasaan, dan tingkah laku
manusia adalah merupakan suatu proses yang satu denan yang lainya tidak dapat
dsalah kan
Rational-Emotive-Therapy (RET) memandag bahwa manusia itu
tidak akan bisa lepas dari perasaan dan perbuatannya.Perasaan seseorang
senantiasa melibatkan pikiran dan tindak-tidakannya.
c. Individu bersifat unik dan memiliki
potensi untk memahami keterbatasannya,serta potensi megubah pandanga dasar dan
nilai-nilai yang diterimanya secara tidak kritis
Individu itu dalahirkan dengan membawa
potensi-potensi tertentu,ia memlki berbagai kelebihan dan krkurangannya serta
kebatasannya yang berifat unik.Sesuai dengan prinsip diferiensiasi bahwa
seeorang itu tidak ada yang identik atau sama persis.Rational-emotive-therapy
(RET) memandang bahwa individu itu memiliki potensi untuk memahami
kelebihan-kelebihan, dan keterbatasan-keterbatasan itu.
2.
Konsep-konsep dasar teori Rasional-Emotif
Konsep dasar teori dasar rasional
emotif ini, mengikuti pola yang teliti,
A=Activating Experience (pengaaman
aktif)
Ialah
suatu keadan, fakta peristiva atau tingkah laku yang dialami individu.
B=Belief System (cara individu
memandang suatu hal).
Pandangan
dan penghayatan indivu terhadap A.
C=Emotional Consequence
(akibat-emosional)
Akibat-emosional
atau reaksi individu positif atau negatif
3.
Penerapan teori konseling Rasiona-emotif
Penerapan
teori konseling Rasional-emotif ini sangat ideal apa bla diterapkan disekolah,
terutama oleh:Guru,Konselor atau pemimbing yang berwibawa.
Guru/konselor
yang berwibawa akan mampu untuk membantu siswa yang mengalami gangguan mental
atau gangguan emosional untuk mengarahkan secara langsung pada para siswa yang
memiliki pola berfikir yang tidak rasional, serta mempengaruhi cara berfikir
mereka yang tidak rasional untuk meninggalkan anggapan atau pandangan yang
keliru itu menjadi rasional dan logis.
Guru
melalui bidang studi yang diajarkan kepada siswanya secara langsung bisa
mengaitkan pola bimbingan yang terpadu untuk mempengaruhinya, untuk secara
meninggalkan tindakan pikiran dan perasaan yang tidak rasional.
Langkah-langkah
tersebut secara berturut-turut akan dijelaskan sebagai berikut di bawah ini:
1.
(a). Analisis
2.
Langkah analisis adalah langkah
untuk memahami kehidupan individu, yaitu dengan mengumpulkan data dari berbagai
sumber. Kegiatan pengumpulan data dengan maksud berkenaan dengan bakat, minat,
motif-motif, kehidupan emosional serta karakteristik yang dapat menghambat atau
mendukung penyesuaian diri dari individu.
3.
Alat-alat yang bisa dipakai untuk
mengumpulkan data, diantaranya:
4.
(1). Kartu pribadi (commulative
record)
5.
(2). Nilai rapor
6.
(3). Hasil pemeriksaan psikologis
7.
(4). Catatan anekdot
8.
(5). Biografi
9.
(6). Pedoman wawancara
10. (7). Pedoman
observasi
11. Sedangkan
sumber-sumber data yang bida dipakai dalam mengumpulkan data, diantaranya:
12. (1). Siswa
bersangkutan
13. (2). Teman
siswa
14. (3). Guru
mata pelajaran
15. (4). Wali
kelas
16. (5). Kepala
sekolah
17. (6). Orang
tua/wali siswa
18. (7). Pegawai
sekolah
19. (8). Petugas
bimbingan dan konseling
20. (9). Buku
rapor
21. (10). Daftar
absensi siswa
22. (11).
Catatan anekdot
23. (12).
Observasi langsung
24. (13). Hasil
angket, dll.
25.
26. (2).
Sinthesis
27. Sintesis
adalah langkah menghubungkan dan merangkum data. Ini berarti dalam langkah
sintesis konselor mengorganisasikan dan merangkum data sehingga tampak jelas gejala
atau keluhan-keluhan siswa serta hal-hal yang melatarbelakangi masalah siswa.
Rangkuman data haruslah dibuat berdasarkan data yang diperoleh dalam langkah
analisis.
28. (3).
Diagnosis
29. Diagnosis
adalah langkah menemukan masalah atau mengidentifikasi masalah. Langkah ini
meliputi proses interpretasi data dalam kaitannya dengan gejala-gejala masalah,
kekuatan, dan kelemahan siswa. Dalam proses penafsiran data dalam kaitannya
dengan perkiraan penyebab masalah konselor/pembimbing haruslah menentukan
penyebab masalah yang paling mendekati kebenaran atau menghubungkan
sebab-akibat yang paling logis dan rasional. Inti masalah yang diidentifikasi
oleh konselor atau pembimbing dalam langkah ini mungkin lebih dari satu.
30.
31. (4).
Prognosis
32. Prognosis
adalah langkah meramalkan akibat yang mungkin timbul dari masalah itu dan
menunjukkan perbuatan-perbuatan yang dapat dipilih. Atau dengan kata lain
prognosis adalah suatu langkah mengenai alternatif bantuan yang dapat atau
mungkin diberikan kepada siswa sesuai dengan masalah yang dihadapi sebagaimana
yang ditemukan dalam rangka diagnosis.
33.
34. (5).
Konseling atau Treatment
35. Langkah ini
merupakan inti pelaksanaan konseling yang meliputi berbagai bentuk usaha,
diantaranya: menciptakan hubungan baik antara konselor dan klien, menafsirkan
data, memberikan berbagai informasi, serta merencanakan berbagai bentuk
kegiatan bersama klien.
36.
37. Konselor
harus selalu ingat bahwa memberikan bantuan melalui hubungan konseling tidaklah
selalu terpaku dengan salah satu teknik atau pendekatan konseling, karena pada
kenyataannya tidaklah ada satu teknik atau pendekatan yang baku bagi semua
klien (siswa). Setiap teknik atau pendekatan mungkin hanya dapat diterapkan
kepada klien (siswa) yang menghadapi masalah khusus.
38.
39. Hal-hal yang
mungkin bisa dilakukan oleh konselor untuk memberikan bantuan kepada siswa
dalam memecahkan masalahnya melalui koseling klinikal, diantaranya :
40. (1).
Memperkuat konformitas
41. (2).
Mengubah lingkungan
42. (3). Memilih
lingkungan yang memadai
43. (4).
Mempelajari ketrampilan yang diperlukan
44. (5).
Mengubah sikap
45. Sedangkan
pemberian bantuan melalui konseling klinikal menurut E.G. Williamson dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik konseling, sebagai berikut :
46. (1).
Pembentukan Rapport
47. Komunikasi
antara konselor dan klien akan lebih mudah apabila sudah terbentuk hubungan
baik (rapport). Karena rapport itu merupakan dasar untuk membentuk kepercayaan
dan pengertian antara konselor dengan klien. Tanpa rapport yang baik tidak
mungkin dilakukan kerjasama antara konselor dan klien. Dalam membentuk rapport
yang baik, konselor menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa klien. Klien
harus dibiarkan bicara dengan caranya sendiri dan pada waktu bersamaan,
konselor memisahkan semua informasi yang relevan dengan diagnosis. Dalam
membentuk rapport ini klien mungkin membutuhkan suatu dukungan (support) atau
simpati-simpati tertentu yang pada dasarnya untuk memastikan bahwa konselor ada
bersamanya, menerima dan mengerti dirinya atau dengan kata lain konselor atau
pembimbing bersikap baik, menerima dan memperlakukan klien sebagaimana adanya
atau sebagai seorang pribadi.
48. (2).
Membantu klien (siswa) meningkatkan pemahaman diri, menerima dan memperlakukan
klien sebagaimana adanya atau sebagai seorang pribadi.
49. (3).
Memberikan advice atau merencanakan program apa yang dilakukan (program
kegiatan). Disini konselor harus bertitik tolak dari tujuan, maupun pandangan
dan sikap klien yang mungkin dikaitkan dengan data yang diperoleh dari hasil
diagnosis terdahulu. Ada tiga metode yang dapat dipergunakan konselor didalam
memberikan nasihat kepada klien diantaranya :
50. (a).
Secara langsung
51. Konselor
secara langsung dan terbuka mengemukakan pendapatnya pada klien.
52. (b).
Konselor mengatakan pendapatnya secara langsung yang sekaligus dapat
mempengaruhi klien untuk melihat sendiri hasil dari berbagai kemungkinan
tindakan yang dapat dipilihnya.
53. (c).
Menerangkan
54. E.G.
Williamson, menyatakan bahwa metode menerangkan ini adalah yang paling baik dan
memuaskan. Konselor secara hati-hati dan pelan menerangkan hasil diagnosis dan
menunjukkan berbagai kemungkinan untuk mengembangkan potensi klien.
55. (4).
Melaksanakan rencana
56. Sesuai
dengan apa yang telah dipilih dan diputuskan oleh klien, konselor membantu
klien dalam melaksanakan keputusan atau rencana kegiatan yang dipilih, misalnya
: membantu program belajar (program harian, mingguan, bulanan, dan semester).
57. (5).
Mereferaal ke ahli lain
58. Apabila
ternyata untuk melaksanakan rencana atau keputusan itu konselor yang tidak bisa
(tidak memiliki kemampuan atau diluar batas kemampuan dan wewenangnya)
melakukan sendiri, konselor dapat mereferaal (merujuk) klien tersebut pada ahli
lain yang berwenang, memiliki kemampuan sesuai dengan yang dihadapi klien.
59.
60. (f).
follow-up
61. Langkah
follow up atau tindak lanjut adalah suatu langkah penentuan afektif tidaknya
suatu usaha konseling yang telah dilaksanakannya. Langkah ini merupakan langkah
membantu klien melakukan program kegiatan yang dikehendaki atau membantu klien
kembali memecahkan masalah-masalah baru yang berkaitan dengan masalah semula.
62.
63. 2. Alat
Pengumpulan Data dalam Konseling Klinikal
64. A. Teknik
Observasi
65. (a).
Pengertian observasi
66. Observasi
adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan sengaja,
melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala-gejala yang diselidiki.
67. Observasi
itu sendiri mempunyai pengertian yang sempit dan juga pengertian yang luas. Dalam
arti yang sempit observasi berarti mengamati secara langsung terhadap gejala
yang ingin diselidiki. Sedangkan observasi dalam arti luas berarti mengamati
secara langsung maupun tidak langsung gejala yang diselidiki.
68. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa observasi adalah proses mengamati tingkah laku
siswa dalam situasi tertentu. Situasi yang dimaksud dapat berupa situasi yang
sebenarnya (alamiah) dan bisa situasi yang diciptakan (eksperimental).
69. Alat
pengumpul data yang dapat digunakan dalam melakukan observasi ialah menggunakan
catatan anekdot (blanko observasi). Blanko observasi dapat digunakan oleh
pembimbing sebagai alat bantu dalam mencatat dan mendeskripsikan tingkah laku
siswa yang sedang diamati.
70. Hal yang
perlu diperhatikan dalam observasi oleh pembimbing ialah mencatat hanya apa
yang nyata terjadi, dan tidak mencapur adukkan dengan berbagai komentar atau
interpretasinya terhadap tingkah laku siswa yang diamatinya.
71.
72. (b). Fungsi
observasi dalam konseling
73. Dalam proses
hubungan konseling, konselor bertatap muka dengan klien (siswa). Dalam hubungan
ini biasanya dipergunakan secara bersamaan dua teknih yaitu observasi dan interview.
Informasi tentang diri klien didapatkan melalui interview dengan
klien itu sendiri, atau juga berdasarkan informasi yang diperoleh dari orang
lain secara langsung mengenai diri klien.
74. Jadi dapat
dikatakan bahwa fungsi dari observasi dalam kaitannya dengan konseling
disamping untuk memperoleh gambaran dan pengetahuan serta pemahaman tentang
diri klien, juga berfungsi untuk menunjang untuk melengkapi bahan-bahan yang
diperoleh melalui interview (wawancara).
75. (c).
Jenis-jenis teknik observasi
76. Para ahli
sering mengelompokkan jenis-jenis observasi sesuai dengan tujuan dan
lapangannya. Marie Jahoda dkk., dalam bukunya berjudul:
77. “Research
Methods in Social Relation (1957), mengelompokkan teknik observasi
atas tiga macam, yaitu: “Participant observation, systemic observation, and
observation in standardized experimental or test situation.”
78. Observasi
partisipasi umumnya dipergunakan untuk penelitian yang bersifat eksploratif.
Suatu observasi disebut observasi partisipasi bila observer turut mengambil
bagian dalam kehidupan observasi.
79. Observasi
sistemik sering pula diberinama observasi berkerangka. Sebelum mengadakan
observasi terlebih dahulu dibuat kerangka tentang berbagai faktor dan ciri-ciri
yang akan diobservasi.
80. Observasi
eksperimental ialah suatu observasi yang memiliki ciri-ciri yaitu:
81. (1). Situasi
dibuat sedemikian rupa sehingga observer tida mengetahui diadakannya observasi.
82. (2). Dibuat
variasi situasi untuk menimbulkan tingkah laku tertentu.
83. (3).
Observasi diadakan pada situasi yang seragam.
84. (4). Situasi
ditimbulkan atau dibuat sengaja.
85. (5).
Faktor-faktor yang tidak diinginkan pengaruhnya dikontrol secermat mungkin .
86. (6). Segala
aksi reaksi dari observasi dicatat dengan teliti dan cermat.
87.
88. (d).
Beberapa alat pembantu observasi
89. Alat
pencatat observasi sering juga disebut pedoman observasi, yang perlu
dipersiapkan sebelumnya dan dengan sebaik-baiknya. Beberapa alat pembantu observasi
diantaranya:
90. (1). Catatan
anekdot
91. Catatan
anekdot adalah menggambarkan perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam
situasi seperti adanya. Ada tiga catatan anekdot diantarnya sebagai berikut:
92. (a). Catatan
anekdot tipe deskriptif
93. Ialah suatu
catatan anekdot yang menggambarkan tingkah laku yang terjadi tanpa dibarengi
oleh komentar atau interpretasi konselor.
94. (b). Catatan
anekdot tipe interpretatif
95. Ialah suatu
catatan anekdot yang menggambarkan tingkah laku nyata yang terjadi tanpa
disertai interpretasi konselor terhadap tingkah laku tersebut.
96. (c). Catatan
anekdot tipe evaluatif
97. Ialah suatu
catatan anekdot yang mendeskripsikan tingkah laku yang dapat dipergunakan untuk
mengadakan evaluasi terhadap perkembangan tingkah laku klien yang bersangkutan.
98.
99. (2). Daftar
cek
100.
(a). Pengertian daftar cek
101.
Merupakan suatu daftar yang
mengandung atau mencatat faktor-faktor yang ingin diselidiki atau diamati, yang
berisi aspek-aspek yang mungkin terdapat dalam suatu situasi, tingkah laku
maupun kegiatan individu yang sedang diamati.
102.
(b). Fungsi daftar cek
103.
Fungsi daftar cek berkaitan dengan
proses konseling adalah sebagai alat pencatat hasil observasi situasi, tingkah
laku, ataupun kegiatan individu yang diamati.
104.
(c). Manfaat daftar cek
105.
Daftar cek bermanfaat untuk mendapatkan
faktor-faktor yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi.
106.
(d). Karakteristik daftar cek yang
baik
107.
o direncanakan secara
sistematis
108.
o sesuai dengan yang
ingin dicapai atau yang dirumuskan terlebih dahulu
109.
o berupa format yang efisien
dan efektif
110.
o dapat diperiksa
validitas, reliabilitas, dan ketepatannya
111.
o hasil pengecekan diolah
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
112.
o bersifat kuantitatif
113.
114.
B. Teknik
Komunikasi
115.
Berkaitan dengan pengumpulan data
dalam konseling, maka salah satu prinsip dalam komunikasi adalah konselor
mengkomunikasikan maksud pengumpulan data kepada klien. Mengkomunikasikan hal
semacam ini tidak dapat dilakukan dalam observasi. Alat-alat pengumpulan data
yang dapat digunakan dalam teknik komunikasi dapat berupa testing maupun non
testing.
116.
(a). Jenis-jenis pengumpulan data
non-testing
117.
(1). Wawancara
118.
Ialah suatu teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara tanya jawab antara interviewer (penanya)
denganinterviewee (responden=penjawab).
119.
Unsur-unsur wawancara :
120.
(a). Face to face,
121.
(b). Secara lisan
122.
(c). Memiliki tujuan tertentu
123.
Untuk mencapai tujuan wawancara yang
baik perlu disusun suatu pedoman wawancara yang rinci dan sistematis.
124.
(2). Daftar cek masalah
125.
Ialah seperangkat pertanyaan yang
menggambarkan jenis-jenis masalah yang mungkin dihadapi klien. Atau daftar
kemungkinan masalah yang disusun untuk merangsang atau memancing pengungkapan
masalah yang pernah dan sedang dialami, atau masalah yang dirasakan atau
masalah yang tidak dirasakan oleh seseorang.
126.
(3). Angket atau kuesioner
127.
Ialah seperangkat pertanyaan yang
harus dijawab oleh responden, yang digunakan untuk mengubah berbagai keterangan
yang langsung diberikan oleh responden menjadi data, serta dapat pula digunakan
untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman yang telah dialami pada saat ini.
128.
Keterangan yang didapatkan diubah
menjadi data kuantitatif (angka-angka) dengan cara menghitung jumlah responden
yang memberikan jawaban. Angket atau kuesioner sebagai alat pengumpul data
mempunyai ciri khas yang membedakan dengan alat pengumpul data lainnya.
129.
Ciri khas angket itu terletak pada
pengumpulan data melalui daftar pertanyaan tertulis yang disusun dan disebarkan
untuk mendapatkan informasi dari sumber data yang berupa orang.
130.
(4). Sosiometri
131.
Ialah alat yang dipergunakan untuk
mengungkap hubungan sosial siswa di dalam kelompoknya. Dengan kata lain
sosiometri banyak digunakan untuk mengumpulkan data tentang dinamika kelompok.
Sosiometri dapat pula dipergunakan untuk mengetahui popularitas seseorang dalam
kelompoknya, serta meneliti kesukaran seseorang terhadap teman-teman
sekelompoknya baik dalam kegiatan belajar, bermain, bekerja, dan
kegiatan-kegiatan kelompok lainnya.
132.
Dengan mengetahui keadaan seseorang
dalam kelompoknya, konselor dapat mengidentifikasi siswa mana yang terisolir
atau dikucilkan oleh teman-temannya. Data sosiometri merupakan dasar untuk
memberikan bantuan dalam memperbaiki hubungan sosial individu dalam
kelompoknya, misalnya: dengan jalan membentuk suatu kegiatan berkelompok
tertentu.
133.
134.
(b). Jenis-jenis alat pengumpul data
testing
135.
Jenis-jenis alat pengumpul data yang
bersifat testing di dalam pelaksanaannya berupa tes psikologis, diantaranya
ialah:
136.
(1). Tes hasil belajar (Achievement
test), yang mengukur apa yang telah dipelajari dalam berbagai bidang studi.
Ada tes khusus yang meneliti penguasaan materi mata pelajaran tertentu saja;
ada pula tes yang meliputi materi beberapa mata pelajaran dalam lingkup yang
agak luas, yang menghasilkan skor-skor terpisah (subtest) untuk saling
dibandingkan (achievement battery; survey test). Tipe tes hasil belajar
yang khusus adalah tes kesiapan, yang bertujuan memperkirakan sampai seberapa
jauh subjek dapat mengambil manfaat dari suatu program pendidikan, misalnya
testing dalam keterampilan membaca dan penalaran numerik menjelang saat masuk
sekolah dasar (readiness test; prognotic test). Tipe khusus yang lain
adalah tes diagnostik yang meneliti sebab-sebab timbulnya kesulitan dalam
mempelajari bidang-bidang studi tertentu, agar siswa dapat ditolong dalam
mengatasi kesulitan dan melengkapi kekurangannya (diagnostic test).
Akhir-akhir ini dikembangkan tipe yang baru, yaitu tes kompetensi, yang
menuntut para siswa untuk menunjukkan taraf penguasaan dalam
keterampilan-keterampilan dasar, seperti membaca, menulis, dan berhitung (competency
test).
137.
(2). Tes kemampuan intelektual, yang
mengukur taraf kemampuan berpikir, terutama berkaitan dengan potensi untuk
mencapai taraf prestasi tertentu dalam belajar di sekolah (mental ability
test; academic ability test; scholastic aptitude test).
138.
(3). Tes kemampuan khusus atau tes
bakat khusus, yang mengukur taraf kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
bidang tertentu, program pendidikan vokasional tertentu atau bidang pekerjaan
tertentu; lingkupnya lebih terbatas dari tes kemampuan intelektual (test
of specific ability; aptitude test).
139.
(4). Tes minat, yang mengukur
kegiatan-kegiatan macam apa yang paling disukai seseorang. Tes ini bertujuan
membantu seseorang dalam memilih macam pekerjaan yang kiranya paling sesuai
baginya (test of vocational test).
140.
(5). Tes perkembangan vokasional,
yang mengukur taraf perkembangan seseorang dalam hal kesadaran ketika memangku
suatu kerjaan atau jabatan (vocation); dalam memikirkan hubungan antara
memangku suatu jabatan dan ciri-ciri kepribadiannya serta tuntutan-tuntutan
sosial-ekonomis; dan dalam menyususn serta mengimplementasikan rencana
pembangunan masa depannya sendiri. Tes semacam ini, meneliti taraf
kedewasaan seseorang dalam mempersiapkan diri bagi partisipasinya
dalam dunia kerja (career maturity).
141.
(6). Tes kepribadian, yang mengukur
ciri-ciri kepribadian yang bukan khas bersifat kognitif, seperti sifat karakter,
sifat tempramen, corak kehidupan emosional, kesehatan mental, relasi sosial
dengan orang lain, serta bidang-bidang kehidupan yang menimbulkan kesukaran
dalam penyesuaian diri. Termasuk dalam kelompok tes ini : tes projektif (projective
test) yang meneliti sifat-sifat kepribadian seseorang melalui
reaksi-reaksinya terhadap suatu kisah, suatu gambar atau suatu kata; angket
kepribadian (personality inventory; adjustive inventory) yang
meneliti berbagai ciri kepribadian seseorang dengan menganalisis jawaban-jawaban
tertulis atas sejumlah pertanyaan untuk menemukan suatu pola bersikap,
bermotivasi, atau reaksi emosional, yang khas untuk orang itu.
142.
143.
C. Teknik
Studi Dokumentasi
144.
Studi dokumentasi merupakan salah
satu cara pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagai sumber
data.
145.
Cara pengumpulan data dengan
menggunakan dokumen sebagai sumber data berkaitan dengan proses hubungan
konseling klinikal yaitu :
146.
(a) Buku
rapor
147.
(b) Buku induk
murid (legger)
148.
(c) Catatan
kesehatan siswa
149.
(d) Rekaman
150.
151.
D. Penggunaan
Alat – Alat Pengumpul Data salam Konseling Klinikal
152.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang konselor/pembimbing dalam menggunakan alat-alat pengumpul data,
diantaranya ialah :
153.
(1) Setiap
pengumpul data yang direncanakan harus jelas manfaatnya, keterbatasannya,
hubungannya dengan alat-alat lain, serta ada kesesuaian alat-alat tersebut
dengan tujuan yang ingin dicapai.
154.
(2) Penggunaan
alat-alat pengumpul data harus direncanakan dengan matang dan dipadukan dengan
tujuan yang ingin dicapai.
155.
(3) Berbagai contoh
alat-alat pengumpul data yang ada dalam buku-buku, acuan-acuan, literatur, buku
kurikulum dapat disempurnakan atau dipakai sesuai dengan keperluan
masing-masing atau pembimbing sekolah.
156.
(4) Alat-alat
pengumpul data yang ada dan akan dipergunakan hendaknya diusahakan ada petunjuk
pemakaiannya atau manualnya.
157.
Konselor/pembimbing hendaknya
berusaha kreatifuntuk mengembangkan, melengkapi, dan mendapatkan alat-alat data
yang belum dimilikinya
I.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar