Makalah Putusnya Perkawinan |
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Putusnya Perkawinan
Perkawinan
merupakan awal hidup bersama dalam suatu ikatan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan dengan maksud membentuk keluarga yang bahagia, seperti yang
diamanahkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang berbunyi : “Tujuan perkawinan adalah juga untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena
perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan
yang harmonis antara suami isteri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya
prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan
saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.
Menciptakan
sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang yang menjadi
performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami isteri merupakan upaya
yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal dan berakhir
dengan sebuah perceraian.
Kenyataan
tersebut di atas membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan
hidup dalam rumah tangga bukanlah merupakan perkara yang mudah untuk
dilaksanakan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan pandangan
hidup dan lain sebagainya terkadang muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan
dapat menimbulkan krisis serta dapat mengancam sendi-sendi rumah tangga.
Keberadaan
institusi perkawinan menurut Hukum Islam dapat terancam oleh berbagai perbuatan
para pelaku perkawinan itu sendiri, baik itu dilakukan pria maupun oleh wanita.
Perbuatan-perbuatan tersebut dapat merusak perkawinan, terhentinya hubungan
untuk bebarapa saat, dalam waktu yang lama bahkan terputus untuk selamanya,
sangat bergantung pada jenis perbuatan yang mereka lakukan. Pada umumnya dapatlah
dikatakan bahwa sudah menjadi kehendak dari orang-orang yang melangsungkan
perkawinan agar perkawinannya berlangsung terus menerus dan hanya terputus
apabila salah seorang baik suami ataupun isteri meninggal dunia. Namun dalam
kenyataan, banyak pasangan suami isteri yang terpaksa harus putus ikatan
perkawinannya di tengah jalan.
Secara
umum mengenai putusnya hubungan perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan membagi sebab-sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu seperti yang tercantum dalam Pasal 38 atau dalam undang-undang
Kompilasi Hukum Islam pasal 113, perkawinan dapat putus karena adanya hal-hal
berikut :
1.
Kematian
Hukum
perkawinan Agama Islam menentukan bahwa apabila salah seorang di antara kedua
suami istri meninggal dunia, maka telah terjadi perceraian dengan sendirinya.
Dimulai sejak tanggal meninggal tersebut.
2.
Perceraian
Ada
dua macam perceraian yang menyebabkan bubarnya perkawinan. Yaitu perceraian
karena talak (cerai talak)dan perceraian karena gugatan (gugat cerai).
a)
Perceraian Karena Talak (Cerai Talak)
Menurut UU. No.1/1974 pasal 66 ayat (1)
cerai talak adalah permohonan yang diajukan oleh seorang suami yang beragama
Islam kepada pengadilan guna menceraikan istrinya dengan penyaksian ikrar talak.
Sedangkan talak menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 117 adalah ikrar suami
dihadapan sidang Pengadilan Agama dan menjadi sebab putusnya perkawinan.
1)
Jenis-jenis Talak
Menurut
Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa jenis talak yang menyebabkan putusnya
perkawinan. Antara lain:
a.
Talak Raj’i Yaitu talak kesatu atau kedua
dimana suami berhak rujuk selama dalam masa iddah (pasal 118 KHI).
b.
Talak Ba’in Sughra Yaitu talak yang tidak boleh rujuk namun boleh akad nikah
baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI). Talak
Ba’in Sughra adalah talak yang terjadi qabla al dukhul, talak dengan tebusan
atau khulu’, dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
c.
Talak Ba’in Kubra Yaitu talak untuk yang ketiga kalinya. Tidak boleh dirujuk
dan tidak boleh dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan
setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian
ba’da al dukhul dan masa iddah. (pasal 120 KHI).
d.
Talak Sunni Adalah talak yang dibolehkan. Yaitu talak yang dijatuhkan pada
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. (pasal
121 KHI).
e.
Talak Bid’i Adalah talak yang dilarang. Yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu
istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri.
(pasal 122 KHI).
2)
Macam-macam Alasan Permohonan Cerai Talak
Permohonan
cerai talak dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan berikut ini:
a. Istri melalaikan kewajibannya sebagaimana
terdapat pada UU. No.1/1974. Pasal 34 ayat (3) dan Kompilasi Hukum Islam Pasal
77 ayat (5).
b. Istri berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sulit atau tidak dapat disembuhkan seperti
yang tercantum dalam PP. No.9/1975. Pasal 19 huruf a dan 116 huruf a.
c.
Istri meninggalkan suami selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin suami dan
tanpa alas an yang sah seperti yang terdapat dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19
huruf b dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf b.
d.
Istri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih terdapat dalam PP. No.
9/1975. Pasal 19 huruf c dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf c.
e.
Istri melakukan kekejaman atau
penganiayayaan yang membahayakan pihak lain tercantum dalam PP. No. 9/1975.
Pasal 19 huruf d dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf a.
f.
Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri karena cacat badan atau penyakit sebagaimana
tercantum dalam PP. No. 9/1975. PAsal 19 huruf e dan Kompilasi Hukum Islam
Pasal 166 huruf e.
g.
Terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang
tidak dapat didamaikan lagi. Tercantum dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19 huruf f
dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 166 huruf f.
h.
Istri murtad, yaitu terjadi peralihan agama yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga. Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
116 huruf h.
i.
Syiqaq, dengan syarat harus mendengar
keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat
dengan suami atau istri. Seperti terdapat dalam UU. No. 7/1989. Pasal 76 ayat
(1-2).
j.
Li’an. Yaitu tuduhan kepada salah satu
dari suami istri ada yang berzina, atau suami mengingkari anak dalam kandungan
maupun yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan pemohon atau penggugat tidak
mempunyai bukti-bukti dan tergugat menyanggah tuduhan tersebut. Terdapat dalam
UU. No.7/1989. Pasal 87 ayat (1-2) dan Pasal 88 ayat (1-2), serta dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 125-128.
3)
Tempat Mengajukan Permohonan Cerai Talak
a.
Menurut UU. No. 7/1989. Pasal 66 ayat (1-4), seorang suami mengajukan permohonan
kepada Pengadilan daerah setempat atau apabila pemohon dan termohon tinggal di
luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan untuk mengadakan sidang penyaksian ikrar talak.
Bisa juga diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
b.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 129, seorang suami yang akan menjatuhkan
talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada
Pengadilan Agama di tempat tinggal istri dengan alasan meminta diadakan sidang.
c.
Perceraian Hanya Dapat Dilakukan di Depan Sidang Pengadilan
d.
Dalam UU. No. 1/1974. Pasal 39 ayat (1-3), UU. No. 7/1989 Pasal 65, dan
Kompilasi Hukum Islam, ditentukan bahwa perceraian hanya dilakukan di depan
sidang Pengadilan dengan alasan antara suami dan istri tidak bisa didamaikan
lagi.
4)
Saat Mulai Terjadinya Perceraian Karena Talak
Menurut
PP. No. 9/1975. Pasal 17 dan 18, serta dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 123,
perceraian dihitung setelah keputusan hakim dinyatakan di depan sidang
Pengadilan dengan surat keterangan perceraian yang dibuat oleh Ketua Pengadilan
untuk dikirim kepada Pegawai Pencatat di tempat terjadinya perceraian.
b)
Perceraian Karena Gugatan (Gugat Cerai)
Adapun
pengertian cerai gugat menurut UU. No.7/1989 pasal 73 ayat (1) adalah gugatan
perceraian yang diajukan istri atau kuasanya kepada Pengadilan daerah setempat,
kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat tinggal bersama
tanpa izin tergugat. Dan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 132 ayat (1),
gugatan cerai adalah gugatan yang diajukan oleh istri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama setempat kecuali si istri meninggalkan tempat tinggal bersama
tanpa izin suami.
3.
Putusan pengadilan
Untuk
masalah yang satu ini sebetulnya tidak serumit yang kita bayangkan. Karena pada
dasarnya putusan sidang bisa menjadi alasan bubarnya suatu perkawinan apabila
dilandasi adanya suatu kemaslahatan yang harus dituju dan ditegakkan. Sebagai
satu contoh kasus apabila seorang istri ditinggal suaminya ke medan perang dan
tidak kembali selama 10 tahun sehingga dinyatakan hilang, maka karena ini si
istri meminta kejelasan statusnya kepada pengadilan.
Sebab
hal inilah pengadilan berhak memutuskan setatus si istri tersebut dengan
membubarkan perkawinannya demi kemaslahatan dirinya dan keluarganya.
B.
Akibat dari Perceraian
Ada
dua akibat yang muncul apabila terjadi perceraian antara suami istri. Pertama
adalah akibat bagi istri dan harta kekayaan dan yang kedua adalah akibat bagi
anak-anak yang belum dewasa.
Putusan
perceraian tidak berlaku surut, hanya mulai berlaku pada saat dibukukannya
surat keputusan itu dalam segister Catatan Sipil.
Perceraian
berakibat pada adanya pembagian hak-hak antara bekas suami dan bekas istri
menyangkut masalah hak asuh anak maupun pembaian harta.
Perceraian
berakibat pada adanya pembagian hak-hak antara bekas suami dan bekas istri
menyangkut masalah hak asuh anak maupun pembagian harta.
Akibat
yuridis yang timbul akibat cerai talak adalah :
1.
Menurut UU. No. 1/1974 pasal 41 putusnya perkawinan karena perceraian adalah
timbulnya kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya dan yang bertanggung
jawab sepenuhnya atas pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan anak adalah
bapaknya. Namun apabila bapaknya tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan memutuskan bahwa ibunya ikut menanggung biaya tersebut. Jika terjadi
perselisihan tentang penguasaan anak, maka pengadilan yang berhak memberi
keputusan. Pengadilan juga berhak mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan atau menentukan kewajiban bagi bekas istri.
2.
Menurut KHI pasal 149, apabila perkawinan putus karena cerai talak, maka suami
wajib melunasi mahar (yang terhutang) seluruhnya apabila istrinya sudah
dicampuri, dan setengah bagi istri yang belum dicampuri. Kemudian bekas suami
wajib memberikan mut’ah berupa uang atau benda kepada bekas istri kecuali belum
dicampuri. Selain itu ada juga kewajiban memberi nafkah berupa maskan dan
kiswah selama bekas istri dalam masa iddah kecuali jatuh talak ba’in atau nusyuz
sedang bekas istri dalam keadaan hamil. Serta adanya kewajiban memberikan biaya
hadhanah bagi anak di bawah umur 21 tahun.
3.
Hak Penguasaan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
Menurut KHI pasal 156, anak yang belum
mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya meninggal
dunia maka kedudukannya digantikan oleh :
a)
Wanita-wanita dalam garis lurus ibu
b)
Ayah
c)
Wanita-wanita dalam garis lurus ayah
d)
Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
e)
Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
f)
Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
Sedangkan
anak yang sudah mumayyiz berhak memilih hadhanah dari ibu atau ayahnya. Dan
pengadilan berhak memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang berhak
hadhanah pula apabila keselamatan jasmani dan rohani anak tidak terjamin
meskipun nafkah hadhanah sudah terpenuhi.
Hak
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun jika terjadi
perceraian adalah menjadi hak ibunya, sebagaimana tercantum dalam Kompilasi
hukum Islam Pasal 105 huruf a.
Biaya
pemeliharaan dan penyusuan anak menjadi tanggung jawab ayahnya menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus
diri sendiri (21 tahun). Apabila ayahnya meninggal dunia, maka penyusuan
dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau
walinya. Seperti yang tercantum dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 104
ayat(1-2), Pasal 105 huruf c, dan Pasal 156 huruf d.
Eksekusi
putusan hadhanah menurut KUH Perdata Pasal 319 f ayat (5) adalah tentang kepada
siapa seharusnya anak itu dipercayakan, terlepas dari ada atau tidaknya orang
tua atau perwalian yang telah mengurus anak tersebut. Apabila pihak yang
menguasai anak itu menolak menyerahkannya, maka juru sita boleh menjadi
perantara untuk melaksanakan keputusan itu.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas jelas sudah bahwasanya undang-undang telah mengatur dan
membahas secara rinci atas dapat putusnya suatu perkawinan dengan adanya tiga
hal yaitu kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Pengaturan hal ini
dalam undang-undang dimaksudkan tidak lain demi terciptanya masyarakat yang
tertib, harmonis serta keluarga yang bahagia tanpa adanya saling merugikan satu
sama lain antara suami istri, sehingga terlaksananya hak-hak dan kewajiban
masing-masing.
Dari
pembahasasn diatas pula kita dapat menganalisis betapa berbelit-belitnya suatu
perceraian, hal ini disebabkan agar terbentuknya keluarga yang bahagia dan
langgeng, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan dan hanya dapat dilakukan
dalam hal-hal yang dianggap sangat terpaksa dengan alasan-alasan tertentu yang
telah diatur oleh undang-undang.
Demikinlah
makalah ini kami buat, dan kami sangat sadar sekali bahwa didalamnya masih
banyak kekurangan disana-sini baik subtansinya, tata bahasanya, maupun
susunannya. Sehingga kami sangat mengharapkan saran dan masukan para pembaca
yang konstruktif demi lebih baik dan sempurnanya makalah yang kami susun ini.
Semoga
adanya makalah ini memberikan khazanah pengetahuan baru dan dapat memberikan
”ziadatul khair” bagi kita semua sehingga dapat bermanfaat dikemudian hari,
amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi, Ali HUKUM
WARIS, HUKUM KELUARGA DAN HUKUM PEMBUKTIAN, Jakarta: Bina Aksara, Cet.III,
1986.
Ichsan, Achamad Hukum
Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Jakarta : CV. Muliasari, cet.I, 1986
Manan, Abdul, M.
Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, cet.V, 2002.
Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, cet, XXXI, 2003.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar