7 Indikator Kebahagiaan Dunia
Dalam
sebuah kisah suatu hari Ibnu Abbas ra ditanya oleh para Tabi’in mengenai apa
yang dimaksud dengankebahagiaan, dan jawabannya adalah ada 7 (tujuh) indikator
kebahagiaan dunia yaitu :
1. Qalbun Syakirun / hati yang selalu
bersyukur.
Ada
3 syarat dikatakan orang bersyukur :
a. Ia mengakui nikmat Allah SWT kepada
dirinya.
b. Ia menyanjung Allah SWT atas nikmat itu
c. Ia menggunakan nikmat itu untuk
mendapatkan ridha-Nya.
2. Al azwaju shalihah, pasangan
hidup yang sholeh
Akan
tercipta suasana rumah dan keluarga syaqinah, mawaddah dan rahmah jika memiliki
pasangan hidup yang sholeh. ” Diantara kebahagiaan anak Adam
(adalah) istri shalihah, tempat tinggal yang baik dan kendaraan yang baik (HR
Achmad)”.
3. Al Auladan abrar, anak yang soleh.
Ketika
RasulullahSAW tawaf, beliau bertemu seorang pemuda yang pundaknya dalam keadaan
lecet.Bertanyalah Rasululla SAW : “kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda
itu :” Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah
udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya
melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika shalat atau ketika
istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya” Lalu anak muda itu
bertanya lagi: ” Ya rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang
sudah berbakti kepada orang tua ?”
Nabi
SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan :”Sungguh Allah ridho kepadamu,
kamu anak yang shaleh, anak yang berbhakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orang
tuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Ternyata amal ibadah kita tidaklah cukup
untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa
memulainya dengan menjadi anak yang shaleh.
4. Albiatu sholihah, lingkungan yang
baik (kondusif ) untuk iman kita.
Kita
boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib,
haruslah memiliki nilai tambah terhadap keimanan kita. Bergaul dengan orang-2
sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila berbuat
salah. Berbahagialah orang-2 yang dikelilingi oleh orang-2 sholeh.
5. Al malul halal, harta yang halal
Paradigma
dalam islam mengenai harta adalah bukan banyaknya, tetapi halalnya. Ini tidak
berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW`pernah
bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan :” Kamu berdoa
sudah bagus”, kata Nabi SAW, ” Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan
tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan ?.Berbahagialah
menjadi orang yang hartanya halal, karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah.
6. Tafakuh fi dien, semangat untuk
memahami agama
“Barang siapa menempuh jalan untuk
mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan baginya menuju sorga (HR Muslim dan
Tirmizi). Karena sesungguhnya beramal
dengan mengetahui ilmunya adalah satu kewajiban.
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ
كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.(QS Al Israa/17:36).
7. Umur yang barokah.
Umur
yang barokah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap
detiknya diisi dengan amal ibadah
Bagaimana
caranya agar kita dikaruniakan Allah ketujuh indikator kebahagiaan dunia
tersebut ?
Selain
usaha keras untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan
sesering dan sekhusyu’ mungkin, membaca doa sapujagat, yaitu doa yang paling
sering dibaca oleh Rasulullah SAW :
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ
Dan
di antara mereka ada orang yang berdo`a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS
Al Baqarah 201).
Amal
soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita tidaklah cukup untuk mendapatkan
tiket masuk sorga.Kata Nabi SAW :” Amal sholeh yang kalian lakukan tidak
bisa memasukkan kalian ke surga” Lalu para sahabat bertanya “Bagaimana dengan
engkau ya Rasulullah ?” Jawab Rasulullah SAW :”Amal soleh sayapun juga tidak
cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya :” Kalau begitu dengan apa kita
masuk sorga ?” Nabi SAWkembali menjawab : ” Kita dapat masuk sorga hanya karena
rahmat dan kebaikan Allah semata “
`Abdullah
bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah.
Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti
Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah.
Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan
panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti
`Abbasiyah.
Ibnu
`Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang mereka
semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin
`Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr.
Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai
Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan
bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi
fatwa pada waktu itu.
Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendo`akan beliau.
Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendo`akan beliau.
Pernah
satu hari Rasul memanggil `Abdullah bin `Abbas yang sedang merangkak-rangkak di
atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah Ia
seorang yang mendapat pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan berilah
kefahaman kepadanya di dalam ilmu tafsir.”
Ibnu
`Abbas juga bercerita, “Suatu ketika Nabi hendak ber-wudhu, maka aku bersegera
menyediakan air untuknya. Beliau gembira dengan apa yang telah aku lakukan itu.
Sewaktu hendak memulai shalat, beliau memberi isyarat supaya aku bendiri di
sebelahnya. Namun, aku berdiri di belakang beliau. Setelah selesai shalat,
beliau menoleh ke arahku lalu berkata, ‘Hai `Abdullah, apa yang menghalangi
engkau dari berada di sebelahku?’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau terlalu
mulia dan terlalu agung pada pandangan mataku ini untuk aku berdiri
bersebelahan denganmu.’ Kemudian Nabi mengangkat tangannya ke langit lalu
berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ia hikmah dan kebijaksanaan dan berikanlah
perkembangan ilmu daripadanya.’”
Usia
Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu,
pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai. Beliau berusaha menemui
sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi mempelajari apa-apa yang
telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang hal ini, Ibnu `Abbas bercerita
bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum diketahuinya kepada seorang
sahabat penghafal hadits:
“Aku
pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu
rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun
dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku bisa saja mendapatkan izinnya untuk
masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya
supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati
diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah! Ada apa
dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan
datang menemuimu.’ Aku berkata, “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau,
karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya
mengenai hadits yang diketahuinya itu dan mendapatkan riwayat darinya.”
Dengan
kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat,
Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman
pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua
(matang)’. Khalifah `Umar sering melibatkannya ke dalam pemecahan
permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap mengedepankan pendapat
Ibnu `Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang
cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian
membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau menggunakan
debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk pamer
kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci, bebas
dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik yang
dikenal maupun tidak.
`Umar
juga pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu `Abbas.
Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul dengan `Abdullah bin
`Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak pernah melihat seseorang
yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan lebih bijaksana
daripada Ibnu `Abbas.” Ibnu `Abbas tidak hanya dikenal karena pemikiran yang
tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah hati. Teman-temannya
berujar, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh dengan makanannya,
minumannya, dan ilmunya yang melebihi rumah Ibnu `Abbas.” `Ubaidullah bin
`Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih
mengerti tentang hadits Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat Abu Bakar, `Umar,
dan `Utsman, daripada Ibnu `Abbas.”
Perawakan
Ibnu `Abbas tinggi tapi tidak kurus, sikapnya tenang dan wajahnya berseri,
kulitnya putih kekuningan dengan janggut diwarnai. Sifatnya terpuji, memiliki
budi pekerti yang mulia, rendah hati, simpatik-empatik penuh kecintaan, ramah
dan akrab, namun tegas dan tidak suka melakukan perbuatan sia-sia. Masruq
berkata mengenainya, “Apabila engkau melihat `Abdullah bin `Abbas maka engkau
akan mengatakan bahwa ia seorang manusia yang tampan. Apabila engkau berkata dengannya,
niscaya engkau akan mengatakan bahwa ia adalah seorang yang paling fasih
lidahnya. Jikalau engkau membicarakan ilmu dengannya, maka engkau akan
mengatakan bahwa ia adalah lautan ilmu.”
Saat
ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab, “Dengan
lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir.” Terkenal sebagai
‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya sebagai majelis ilmu yang
setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-hari
dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu bahasa,
syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang
istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering berpuasa dan menghidupkan malam
dengan ibadah, serta mudah menangis ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana
lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim. Ibnu `Abbas
pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan `Ali.
Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara
dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati
pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya
(memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang
termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi
buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”
`Abdullah
bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima yang paling
banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad
di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia
juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan
Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi Thalib.
Pada
akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if
hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki
kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar