PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak pemikir kontemporer memandang ushul fiqh klasik tanpa cacat
epistemologis apapun, karena kajian metodelogi klasik yang dikerangkakan ulama’
masa dahulu memang sudah tuntas dan sempurna, sehingga kewajiban umat yang
datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya.
Disinilah cendekiawan muslim modern melonterkan kritikan, mereka mengnggap
sebuah metodelogi yang sejatinya lahir dari publik intelektualitas manusia yang
nisbi telah diposisikan sebagai suatu yang mutlak tak terbantah. Mestinya
metodelogi islam klasik diletakkan dalam konfigurasi (bentuk wujud) dan konteks
umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademi tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Tokoh-Tokoh Ushul Fiqh dan Pemikirannya
2.
Kasus-kasus fiqh kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Ushul Fiqh Kontemporer
1. Tokoh-Tokoh Ushul Fiqh dan Pemikirannya
a. Fazlur Rahman
Titik tolak pemikiran Fazlur Rahman tentang perlunya metodologi baru dalam
memahami teks Al-Qur’an dimulai dengan penelitian historisnya mengenai evolusi
perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), yang
diungkapkannya dalam buku Islamic Methodology in History (1965).
Pandangan Fazlur Rahman ini dilatarbelakangi oleh pergumulannya dalam
upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, yang kemudian mengantarkannya
pada agenda yang lebih penting lagi; yaitu perumusan kembali penafsiran
Al-Qur’an yang merupakan titik-pusat ijtihadnya.
Dalam kajian historisnya ini, Fazlur Rahman menemukan adanya hubungan
organis antara sunnah ideal Nabi s.a.w. dan aktifitas ijtihad-ijma’. Bagi
Fazlur Rahman, sunnah kaum Muslim awal merupakan hasil ijtihad personal,
melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal Nabi s.a.w. yang kemudian
menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Fazlur
Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal Nabi s.a.w. di satu
sisi, dengan sunnah hidup kaum Muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain.
Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang
secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan. Namun demikian, karena
keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran menggantikan proses
sunnah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi
ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi
statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakatankesepakatan masa
lampau. Puncak dari proses reifikasi (proses pembendaan, pembakuan) ini
adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke-4 Hijrah atau 10 M.
Dari hasil kajian historisnya ini, Fazlur Rahman kemudian menolak doktrin
tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq,
ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab. Fazlur Rahman
mengkritik doktrin ini, menurutnya “ijtihad bukanlah hak privilege eksklusif
golongan tertentu dalam masyarakat Muslim”, dia juga menolak kualifikasi ganjil
mengenai ilmu gaib misterius sebagai syarat ijtihad; kemudian dia mengajukan
perlunya memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan
Fazlur Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa
terbuka dan tidak pernah tertutup.
Silahkan DOWNLOAD LINK ini untuk membaca secara lengkap tentang Makalah Fiqih Yang berkenaan Dengan Gerakan fiqih Kontemporer
0 Komentar
Penulisan markup di komentar