Pengembangan dan Pengayaan KTSP
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia,
Pemerintah terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan,
diantaranya adalah dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur
pelaksanaan peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No. 24 Tahun 2006.
Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting diantaranya bahwa
satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang kemudian dipopulerkan dengan
istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang
dikembangkan mencakup tiga komponen, yaitu: (1) Mata Pelajaran; (2) Muatan
Lokal; (3) Pengembangan Diri.
Komponen pengembangan diri merupakan komponen yang relative baru dan berlaku
untuk dikembangkan dalam semua jenjang pendidikan. Sebagai sesuatu yang
dianggap baru, kehadirannya untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Sejumlah
pertanyaan banyak diajukan diantaranya saja: Apa hakekat pengembangan diri itu
Dan Bagaimana pula pelaksanaan kegiatan pengembangan diri di sekolah?
Penggunaan istilah pengembangan diri dalam kebijakan kurikulum memang relatif
baru. Kehadirannya menarik untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun
dalam prakteknya.
Jika menelaah literatur teori-teori pendidikan, khususnya
psikologi pendidikan, istilah pengembangan diri disini tampaknya dapat
dipadankan dengan istilah pengembangan kepribadian, yang sudah lazim digunakan
dan banyak dikenal. Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak
sepenuhnya identik dengan kepribadian (personality).
Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau self
yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian, dan cita-cita,
baik yang disadari ataupun yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu
biasa disebut self picture (gambaran diri), sedangkan aku yang tidak disadari
disebut unconscious aspect of the self (aku tak sadar) (Nana
Syaodich, 2005).
Menurut Freud (Calvin S. Hall& Gardner Lindzey, 1993) ego atau
diri merupakan eksekutif kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dan
mengikuti prinsip kenyataan atau rasional, untuk membedakan antara hal-hal
terdapat dalam batin seseorang dan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.
Setiap orang memilki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya,
ada yang realitis atau justru tidak realitis. Sejauh mana individu dapat
memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh
terhadap perkembangan kepribaian, terutama kesehatan mental. Kepercayaan,
sikap, perasaan dan cita-cita akan seseorang akan dirinya secara tepat dan
realitis memungkinkan memiliki kepribadian yang sehat. Namun, sebaliknya jika
tidak dapat dan realities boleh jadi akan menimbulkan kepribadian yang
bermasalah.
Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over convidence) menyebabkan
seseorang dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung
menabrak norma dan etika standar yang berlaku, serta memandang sepele orang
lain. Selain itu, orang yang memiliki over convidence sering memiliki
sikap dan pemikiran yang over estimate terhdap sesuatu.
Sebaliknya kepercayaan diri yang kurang, dapat menyebabkan orang cenderung
bertindak ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak memiliki keberanian.
Kepercayaan diri yang berlebihan maupun kurang, dapat menimbulkan kerugian
tidak hanya bagi dirinya, namun juga bagi lingkungan sosialnya.
Silahkan download link diatas .
0 Komentar
Penulisan markup di komentar