Kode Etik Penyelenggaraan Negara Dalam mewujudkan Good Governance

11:56:00 AM
Kode Etik
KODE ETIK PENYELENGGARA NEGARA

DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

                A.          Latar Belakang
Keinginan mewujudkan good governance dalam kehidupan pemerintahan telah lama dinyatakan oleh para pejabat Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota. Presiden SBY bertekad menjadikan good governance sebagai bagian terpenting dari pemerintah ketika dilantik sebagai Presiden dengan memberikan instruksi kepada semua menteri untuk memberantas KKN dan mewujudkan pemerintah yang bersih. Para Walikota/Bupati serta sejumlah kalangan di luar pemerintahan juga banyak yang menyatakan ingin mewujudkan good governance menjadi praktik tata-pemerintahan sehari-hari di lingkungan mereka.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mewujudkan good governance di dalam pemerintahan kita?  Strategi apa yang sebaiknya dilakukan untuk mewujudkan good governance? Pertanyaan tersebut, tentu tidak mudah untuk menjawabnya karena sejauh ini konsep good governance sendiri memiliki arti yang luas dan sering dipahami secara berbeda-beda. Banyak orang menjelaskan good governance secara berbeda karena tergantung pada konteksnya. Dalam konteks pemberantasan KKN, good governance sering diartikan sebagai pemerintahan yang bersih dari praktik KKN. Good governance dinilai terwujud jika pemerintah yang berkuasa mampu menjadikan dirinya sebagai pemerintah yang bersih dari praktik KKN.
Dalam proses demokratisasi, good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberi ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antara Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar.  Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut bukan hanya memungkinkan adanya check and balance tetapi juga menghasilkan sinergi yang baik dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
Good governance sebagai sebuah gerakan juga didorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan internasional[1] untuk memperkuat institusi yang ada di Negara dunia ketiga dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang dibiayai oleh berbagai lembaga itu. Mereka menilai bahwa, kegagalan-kegagalan proyek yang mereka biayai merupakan akibat lemahnya institusi pelaksana di negara-negara dunia ketiga yang disebabkan oleh praktik bad governance seperti tidak transparan, rendahnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap terhadap kebutuhan warga, diskriminasi terhadap stakeholders yang berbeda, dan inefisiensi. Karena itu, lembaga keuangan internasional dan donor sering mengkaitkan pembiayaan proyek-proyek mereka dengan kondisi atau ciri-ciri good governance dari lembaga pelaksana.
Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dalam menjelaskan konsep good governance maka tidak mengherankan kalau kemudian terdapat banyak pemahaman yang berbeda-beda mengenai good governance. Namun, secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktik governance yang baik. Pertama, praktik governance yang baik harus memberi ruang kepada aktor lembaga non-pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara aktor dan lembaga pemerintah dengan non-pemerintah seperti masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Kedua, dalam praktik governance yang baik terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktik governance yang baik adalah praktik pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik KKN dan berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu, praktik pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik.
Tantangan utama dalam mewujudkan good governance adalah bagaimana mewujudkan ketiga karakteristik tersebut dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk mewujudkan ketiga hal itu dalam praktik pemerintahan sehari-hari di Indonesia. Tradisi pemerintahan yang ada sekarang ini masih sangat jauh dari ciri-ciri yang dijelaskan di atas. Pembagian peran antara pemerintah dan lembaga non-pemerintah sering masih sangat timpang dan kurang proporsional sehingga sinergi belum optimal. Kemampuan pemerintah melaksanakan kegiatan secara efisien, berkeadilan, dan bersikap responsif terhadap kebutuhan masyarakat masih sangat terbatas. Praktik KKN masih terus menggurita dalam kehidupan semua lembaga pemerintahan baik yang berada di pusat ataupun di daerah. 
Strategi jitu perlu diambil oleh pemerintah dalam mengembangkan praktik governance yang baik. Luasnya cakupan persoalan yang dihadapi, kompleksitas dari setiap persoalan yang ada, serta keterbatasan sumberdaya dan kapasitas pemerintah dan juga non-pemerintah untuk melakukan pembaharuan praktik governance mengharuskan pemerintah mengambil pilihan yang strategis dalam memulai pengembangan praktik governance yang baik. Pembaharuan praktik governance, yang dalam banyak hal masih mencirikan bad governance menuju pada praktik governance yang baik, dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, sejauh perubahan tersebut secara konsisten mengarah pada perwujudan ketiga karakteristik praktik pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

B. Internalisasi Tata Nilai Birokrasi Untuk Mewujudkan Good Governance

            Dalam penyelenggaraan pemerintahan, subsistem aparatur memegang peranan yang strategis. Keberhasilan ataupun kegagagalan penyelenggaraan pemerintahan akan sangat tergantung kepada kualitas aparatur yang menjalankan roda pemerintahan. Dalam suasana transisi dan perubahan yang cepat dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, aparatur sebagai motor penggerak birokrasi dihadapkan pada tuntutan yang tinggi dari masyarakat. Masyarakat menaruh harapan yang tinggi agar aparatur  pemerintah meningkatkan kualitas pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas.
            Tugas aparatur pemerintahan akan semakin kompleks apabila dikaitkan dengan tugas pemerintahan dan tujuan otonomi daerah  yaitu peningkatan kesejahteraan, peningkatan daya saing daerah dan peningkatan pelayanan publik. Kata kunci yang perlu diperhatikan oleh aparatur adalah ”profesionalisme dan kemauan untuk berubah”.  Oleh karena itu dalam kondisi perubahan dan transisi penyelenggaraan pemerintahan dari paradigma sentralistik menuju paradigma desentralistik diperlukan cara pandang baru dan pola pikir baru dari aparatur pemerintahan.
            Pelaksanaan otonomi daerah harus diakui belum mampu memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat, daya saing daerah dan pelayanan publik. Disadari sepenuhnya, untuk mencapai tujuan otonomi daerah tersebut, kinerja birokrasi menjadi isu yang strategis, karena mempunyai implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, selain karena faktor kepastian hukum dan keamanan nasional, sumber daya aparatur yang berkualitas dan diikuti dengan perbaikan kinerja birokrasi dapat memperbaiki iklim investasi. Sedangkan dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi akan memberikan implikasi terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian, faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan, bukanlah hanya pada ketersediaan faktor produksi melainkan juga terletak pada sumber daya aparaturnya (Suparmoko, 2002:106, Agus Dwiyanto, 2002; v-vi).
            Dari pengamatan penulis, dapat diperoleh kesimpulan secara umum bahwa terdapat kecenderungan aparatur birokrasi mempunyai kinerja rendah. Rendahnya kinerja ini dipengaruhi kuatnya orientasi aparatur pada kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan diri sebagai penguasa dan memperlakukan masyarakat sebagai obyek yang membutuhkan bantuan.
            Selain itu, rendahnya kinerja birokrasi juga disebabkan oleh  sistem pembagian kewenangan dan kekuasaan yang lebih memusat pada pimpinan sehingga staf/bawahan yang berhadapan langsung dengan masyarakat tidak diberikan wewenang yang memadai untuk merespon dinamika yang berkembang dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Perkembangan birokrasi  tidak dapat dilepaskan dari   tujuh karakteristik utama, yaitu:
  1. Pembagian tugas dan spesialisasi kerja
  2. Hubungan dalam organisasi bersifat impersonal (kedinasan), bukanlah bersifat perorangan/pribadi.
  3. Hirarki kewenangan, artinya setiap bagian yang lebih rendah selalu berada dibawah kewenangan dan supervisi dari bagian di atasnya.
  4. Manajemen selalu didasarkan pada dokumen tertulis
  5. Sistem karir dan orientasi pembinaan pegawai, artinya bahwa pengembangan karir dilakukan secara profesional sehingga keahlian dan kompetensi menjadi acuan utama.
  6. Efisiensi yang maksimal, sehingga setiap tindakan yang diambil selalu diukur dengan kemanfaatannya bagi organisasi.
  7. Sistem aturan dan diskresi (bandingkan dengan Doli D Siregar, 2004;408).

Mencermati tujuh karakteristik di atas, apabila karakteristik tersebut dilaksanakan dengan benar maka wajah aparatur dan birokrasi Indonesia tidak akan seperti saat ini. Wajah birokrasi Indonesia digambarkan sebagai lamban, bodoh, korup, tidak peka dan sebagainya. Ungkapan ”kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah” dan ”lebih susah memecat PNS daripada mengangkat menjadi PNS” merupakan sindiran yang sangat tajam, tetapi dianggap bahan lelucon oleh aparatur birokrasi sendiri. Kondisi ketidaknyamanan dalam bekerja, gaji yang rendah, ketidakjelasan kewenangan, sistem pengawasan yang tidak terukur, korupsi yang dianggap budaya dijadikan alasan pembenar bahwa aparatur dapat bekerja secara ”semau gue”. ( Baca juga Internalisasi anak bangsa )

Birokrasi mengandung pengertian adanya pengaturan agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Birokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Weber, merupakan sistem dalam organisasi. Sebagai sebuah sistem dalam organisasi, birokrasi haruslah diatur secara rasional, impersonal (kedinasan),  bebas prasangka dan tidak memihak. Dengan pengaturan tersebut, diharapkan organisasi akan dapat memanfaatkan sumber daya manusia/aparatur secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks yang demikian, birokrasi sebenarnya bermakna positif, tidak seperti yang dikenal secara umum seperti saat ini, bahwa birokrasi selalu dimaknai negatif dengan proses yang berbelit-belit, panjang, penuh formalitas, feodal dan sebagainya. Paham birokrasi dikemukan oleh Weber pada tahun 1890 justru untuk menumbangkan paham feodalisme yang masih kuat dengan sistem kekeluargaan (Doli D Siregar, 2004;407).
Birokrasi Indonesia dapat diibaratkan dengan sebuah bangunan yang mempunyai 6 pilar utama, yaitu :
1.      Individu aparatur
2.      Kepemimpinan
3.      Struktur dan Institusi
4.      Sistem dan Prosedur
5.      Budaya masyarakat
6.      Kesejahteraan
Namun demikian, apabila dicermati satu persatu, pilar-pilar tersebut rapuh dan tidak akan mampu menopang bagi terciptanya birokrasi yang profesional. Individu Aparatur mempunyai kelemahan mendasar yaitu kurangnya kompetensi, lemahnya internalisasi nilai-nilai dan etos kerja, bekerja lebih banyak berdasarkan perintah daripada inisiatif dan inovasi. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur. Sistem dan prosedur birokrasi mempunyai kelemahan yang mendasar yaitu kurangnya sistem pemantauan, pengendalian, pengawasan dan penilaian aparatur yang terukur, sistem karir yang tidak pasti, prosedur mutasi yang tidak transparan. Dari aspek Struktur dan Institusi, terdapat kelemahan yang mendasar yaitu strukturnya yang besar dengan jenjang kewenangan yang tidak fokus. Institusi yang ada terjadi tumpang tindih ruang lingkup pekerjaan, kurang koordinasi dan terjadi ego institusi yang tinggi. Budaya masyarakat masih bertumpu pada beberapa kebiasaan lama, misalnya memberi uang sogok agar urusannya dipercepat, tidak mau melaporkan bila ada penyimpangan dan lain-lain. Dari pilar-pilar tersebut, yang tidak kalah pentingnya adalah pilar Kepemimpinan. Kepemimpinan yang kuat, jujur dan dapat dipercaya merupakan faktor yang memegang peranan kunci. Kepemimpinan yang memberikan teladan, tidak memberikan arahan yang melanggar prosedur dan aturan akan sangat membantu dalam membangun birokrasi yang profesional.
            Setiap organisasi birokrasi dimanapun selalu mempunyai  nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman aparaturnya dalam bekerja. Tata nilai yang ada dalam birokrasi tersebut menjadi acuan, ukuran dan standar moral dalam menunaikan hak dan kewajibannya. Pertanyaannya adalah untuk birokrasi Indonesia, apakah nilai-nilai dasar yang harus dianut oleh aparatur yang ada di dalamnya ? Nilai-nilai dasar apakah yang diajarkan kepada aparatur saat memasuki dunia kerja ? bagaimanakah proses internalisasi nilai-nilai tersebut ke dalam diri aparatur ?
            Pertanyaan ini perlu kita jawab bersama-sama karena dalam kondisi perubahan seperti saat ini nilai-nilai dasar tersebut mempunyai peran strategis untuk membangun perilaku dan pola pikir baru aparatur birokrasi.
            Menurut pengamatan penulis, ada 8 nilai dasar birokrasi Indonesia yang harus dijadikan budaya kerja, yaitu :
  1. Kejujuran
  2. Menghargai waktu
  3. Nikmat berkreasi
  4. Keteladanan
  5. Tanggung jawab kepada tugas
  6. Keutamaan kesabaran
  7. Kemauan untuk berubah
  8. Keluhuran budi
           
Nilai-nilai dasar di atas merupakan pemandu dan pedoman bagi setiap aparatur birokrasi di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Nilai-nilai tersebut akan menjadi ”inner motivation” yang akan memberikan dorongan terhadap setiap perilaku aparatur birokrasi. Namun demikian, dalam sebuah institusi akan selalu terjadi interaksi antara ”inner motivation”  dengan ”outer motivation”  yang seringkali justru menjadi faktor eksternal yang sangat dominan dalam pencapaian tujuan institusi. Di dalam institusi birokrasi terdapat berbagai faktor penentu profesionalisme aparatur yang secara kumulatif dapat membangun kualitas institusi. Interaksi antara nilai-nilai dasar birokrasi dan faktor penentu profesionalisme aparatur akan menghasilkan kinerja institusi. Oleh karena itu, kedua tata nilai tersebut harus dapat dikembangkan secara paralel sebagai strategi birokrasi untuk mewujudkan good governance. Faktor penentu profesionalisme aparatur terdiri dari berbagai faktor yang saling terkait dan sifatnya berkelanjutan. Apabila salah satu faktor yang ada bersifat negatif, maka dapat diprediksikan akan terjadi distorsi terhadap profesionalisme dan kinerja aparatur. Oleh karena itu, semua faktor penentu profesionalisme haruslah dipandang sebagai sebuah sistem. (Baca juga Internalisasi perjuangan Bangsa)
Faktor-faktor penentu profesionalisme aparatur tersebut adalah:
  1. Kepemimpinan dan keteladanan
  2. Pendidikan berkelanjutan
  3. Kejelasan delegasi dan kewenangan
  4. Kesejahteraan pegawai
  5. Komunikasi harmonis antar strata jabatan
  6. Kejelasan sistem karir
  7. Kemauan untuk berubah, dan
  8. Lingkungan yang kondusif
            Untuk mewujudkan aparatur yang profesional, selain adanya kejelasan tata nilai yang dipedomani juga dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu profesionalisme sebagaimana diuraikan di atas dan  setiap aparatur harus mampu menggeser paradigma berpikir sehingga terwujud pergeseran nilai-nilai lama menuju nilai-nilai baru. Pergeseran nilai-nilai lama menuju nilai-nilai baru dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel: 1
PERGESERAN NILAI-NILAI MENUJU PROFESIONALISME APARATUR

NO
NILAI LAMA
NILAI BARU

1
Orientasi Lokal
Orientasi Lokal dan Global
2
Bekerja Individual
Aliansi dan Jaringan
3
Orientasi Teknis
Orientasi Masyarakat/pasar
4
Fokus Pada Hasil
Fokus Pada Nilai Tambah
5
Reaktif dan Pasif
Proaktif dan Inovatif
6
Orientasi Jumlah
Orientasi Etika dan Profesionalisme
7
Pemenuhan kebutuhan diri
Pemenuhan kebutuhan pelanggan/ masyarakat
8
Menghabiskan anggaran
Efisien
9
Orientasi pada  pimpinan
Orientasi pada pekerjaan



C.Etika Penyelenggara Negara Sebagai Landasan Mewujudkan Good Governance

Good Governance sebagai sebuah grand design pemerintahan modern sarat dengan nilai-nilai yang dapat dijadikan benih-benih etika  penyelenggara negara. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, terdapat tata nilai yang harus diimplementasikan yaitu :

1. KESETARAAN: memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya (EQUITY: to provide equal opportunities for all citizens to increase their welfare).

2. PENGAWASAN: meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggara pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas (SUPERVISION: to enforce strict control and supervision over public administration and development activities by involving the public as well as community organizations). Melakukan kontrol dan supervisi terhadap administrasi publik, dan mengembangkan aktivitas dengan melibatkan masyarakat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan.

3.   PENEGAKAN HUKUM: mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (LAW ENFORCEMENT: to assure that law enforcement and legal security are fair and impartial (non-discriminating) and support human rights by taking account of the values prevalent in society). Memastikan bahwa penegakan dan perlindungan hukum dilakukan secara adil dan tanpa diskriminasi, dan mendukung hak asasi manusia dengan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

4.   DAYA TANGGAP: meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali (RESPONSIVENESS: to increase the responsiveness of government administrators to complaints, problems, and aspiration of the people). Meningkatkan respons dari aparat pemerintahan untuk mengatasi masalah, komplain, dan aspirasi dari masyarakat, untuk mencari solusi yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.

5.   EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS: menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab (EFFECTIVENESS AND EFFICIENCY: to provide services meeting the needs of the general public by utilizing all resources optimal and wise). . Memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas, dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal dan bijaksana.

6.   PARTISIPASI: mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (PARTICIPATION: to encourage all citizens to exercise their right to express, directly or indirectly, their opinion in decision making processes). Memberi dorongan bagi warga untuk menyampaikan pendapat, secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pengambilan keputusan untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.

    7.PROFESIONALISME: meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau (PROFESSIONALISM: to increase the capacity, skills and morals of the government administrators, so that they will have the emphaty to provide accessible, fast, accurate, and affordable services). Meningkatkan kapasitas, keterampilan, dan moral dari administrasi pemerintah, sehingga mereka akan memperoleh empathi dalam memberikan pelayanan yang dapat diakses, cepat, akurat, dan terjangkau.

8.   AKUNTABILITAS: Meningkatkan tanggungjawab dan tanggunggugat para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas (ACCOUNTABILITY: to enhance public accountability of decision-makers in government, the private sector and community organization in all areas – political, fiscal, budgetary). Meningkatkan akuntabilitas terhadap proses pengambilan keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan dalam semua hal (politik, fiskal, anggaran).

9.   WAWASAN KE DEPAN: Membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya (STRATEGIC VISION: to formulate an urban strategy, supported by an adequate budgeting system, so that city residents have a feeling of ownership and sense of responsibility for the further progress of their city). Kemampuan untuk memformulasikan suatu strategi yang didukung oleh sistem anggaran yang menunjang, sehingga warga merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab untuk terus meningkatkan pembangunan.

10. TRANSPARANSI: menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai (TRANSPARENCY: to build a mutual trust between the government and the public, the government administrator must provide adequate information to the public and easy access to accurate information when needed). Keterbukaan menjadi sangat penting untuk membangun kepercayaan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pengelola pemerintahan harus mampu memberikan cukup informasi bagi masyarakat, dan memudahkan akses informasi yang akurat jika dibutuhkan publik.

Apabila ditelusuri lebih lanjut dalam sistem norma yang  berlaku sudah terdapat nilai-nilai yang layak dijadikan kode etik bagi penyelenggaran negara. Sistem norma yang menonjolkan nilai-nilai etika tersebut antara lain Ketetapan MPR No IV/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan UU nomor 43 tahun 1999 sebagai perubahan UU nomor 8 tahun 1974 tentang Kepegawaian.
Di dalam Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dirumuskan bahwa Etika Kehidupn Berbangsa adalah rumusan yang besumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat univesal dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasil sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggungjawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa, beretika sosial dan budaya, beretika politik dan pemerintahan, beretika ekonomi dan bisnis, beretika penegakan hukum yang berkeadilan, beretika keilmuan, dan beretika lingkungan. Etika ini dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut:
1)      Etika sosial dan budaya (jujur, peduli, saling memahami, menghargai, mencintai, menolong, dan keteladanan).
2)      Etika politik dan pemerintahan (menuju pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif ditandai keterbukaan, tanggungjawab, tanggap, aspiratif, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan menerima pendapat orang lain, menjunjung tinggi hak asasi manusia, peduli, siap mundur apabila dirinya melanggar kaidah dan sistem nilai atau tidak mampu melaksanakan tugas, mendahulukan kepentingan umum, harus bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, rendah hati, dan menjadi teladan, toleransi tinggi, tidak pura-pura, tidak arogan, jauh dari munafik, tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan menghindari tindakan tidak terpuji).
3)      Etika ekonomi dan bisnis (berjiwa wirausaha, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, mendorong pemberdayaan ekonomi, menghindari KKN, tidak diskriminasi, dan berusaha mengentaskan kemiskinan, berpandangan global).
4)      Etika penegakan hukum yang berkeadilan (tenang, teratur, taat dan tertib hukum, kepastian hukum, berusaha bertindak adil dan tidak diskriminatif),
5)      Etika keilmuan (menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berimtaq dan beriptek, berbudauya kerja produktif, mewujudkan karsa, cipta dan karya yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, komunikatif, mendorong budaya baca-tulis-teliti-karya dan berpandangan global).
6)      Etika lingkungan (kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungn hidup, penataan ruang, berkelanjutan, berkesinambungan, dan berwawasan lingkungan (sustainable development).


UU nomor 43 tahun 1999 yang merupakan perubahan UU 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, mengatur tentang profesionalitas dan netralitas PNS serta membangun manajemen kepegawaian berbasis kinerja. Di dalam manajemen ini dikenal kedudukan, kewajiban, hak, manajemen PNS, kebijaksanaan manajemen, formasi, penilaian prestasi kerja, perpindahan jabatan, pengangkatan pemindahan, pemberhentian PNS, jiwa korps, kode etik, pendidikan dan pelatihan, kompetensi, produktivitas, netralitas,  dan kesejahteraan. Unsur-unsur ini terkandung dalam nilai-nilai dasar budaya kerja aparat negara yang dikenal sebagai 17 (tujuhbelas) pasang nilai-nilai dasar budaya kerja aparat negara.  
Budaya Kerja adalah sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Budaya kerja diharapkan bermanfaat bagi pribadi aparat negara maupun unit kerjanya, di mana secara pribadi memberi kesempatan berperan, berprestasi dan aktualisasi diri, dan dalam kelompok bisa meningkatkan kualitas kinerja kelompok. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan dan pengembangan budaya kerja adalah bertumbuhkembangnya nilai-nilai moral dan budaya kerja produktif aparat negara, meningkatnya persepsi, pola pikir, pola sikap, pola tindak, dan perilaku aparat negara sehingga terhindar dari perbuatan KKN, meningkatnya kinerja aparat negara, dan terbentuknya citra aparat negara dan kepercayaan masyarakat (trust). Ada 17 (tujuhbelas) pasang nilai-nilai dasar budaya kerja yang diharapkan dapat diterapkan dalam pelaksanaan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari aparat negara. Jika nilai-nilai dasar budaya kerja ini diterapkan, dilaksanakan, dan diamalkan, niscaya peneyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tidak mustahil segera mencapai tata pemeritahan yang baik, tercipta pemerintah yang bersih dan bebas KKN. Sejalan dengan itu, pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, mind-set, culture-set, management beliefs dan values, menemukenali karakter dan jati diri masing-masing individu, terus diupayakan pemahaman dan pengamalannya.
Menurut Prof Drs Komarudin Msi Staf Ahli Menpan Bidang Sistem Manajemen, Tujuhbelas Pasang Nilai-nilai Dasar Budaya Kerja Aparatur Negara (Kepmenpan Nomor 25 Tahun 2002), yang dapat digunakan sebagai dasar etika adalah sebagai berikut:
1.      Komitmen dan Konsisten terhadap Visi, Misi, dan Tujuan Organisasi, dalam Pelaksanaan Kegiatan Pemerintahan dan Pembangunan:  
a. Keteguhan hati, tekad yang mantap untuk melakukan dan mewujudkan sesuatu yang diyakini.
b. Ketetapan, kesesuaian, ketaatan, kemantapan dalam bertindak sesuai visi dan misi.

2.     Wewenang dan Tanggungjawab
a. Wewenang: Hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
b. Tanggungjawab:kesediaan menanggung sesuatu. Jika salah, wajib memperbaiki atau dapat dituntut/ diperkarakan.

3.   Keikhlasan dan Kejujuran
a. Keikhlasan: Rela sepenuh hati, dating dari lubuk hati, tidak mengharapkan imbalan atau balas jasa, semata-mata karena menjalankan tugas/amanah demi Tuhan.
b. Kejujuran: Benar dalam kata dan perbuatan, berani menolak/melawan kebatilan.

4.     Integritas dan Profesionalisme/Profesionalitas
     a.  Integritas: Menyatu dengan unit kerja/system yang ada.
     b.  Profesionalisme: Terampil, andal, kompeten, dan bertanggungjawab.

5.    Kreativitas dan Kepekaan (Sensitivitas) terhadap lingkungan tugas
       a.  Kreativitas: Ide spontan, iovasi, adopsi, dan difusi.
     b.  Kepekaan: Responsif dan proaktif/reaktif.

6.    Kepemimpinan dan Keteladanan
       a.  Kepemimpinan: Mengarahkan, membimbing, memotivasi, konsisten, dan komunikatif.
       b. Keteladanan:  Tindakan yang segera memicu/mendorong pihak lain, berbuat/bertindak agar ditiru, antara lain:iman, taqwa, beriptek, budaya baca-tulis, belajar terus, integritas, adil, arif, tegas, bertanggungjawab, ramah, rendah hati, toleran, gembira, silih asah-asih-asuh, sabar, periang dan tersenyum.

7.    Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Kerja
a.    Kebersamaan: Suasana hati bersama, untuk kepentingan bersama.
b.   Dinamika Kelompok Kerja: Tidak bekerja sendiri, tidak egois, dan bekerja terintegrasi.

8.    Ketepatan (Keakurasian) dan Kecepatan
a. Ketepatan: Mengenai sasaran, mencapai tujuan, teliti, dan bebas kesalahan.
b.   Kecepatan: Penggunaan waktu lebih singkat dan pendek.

9.    Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi
a. Rasionalitas: Berpikir cerdas, obyektif, logis, sistematik, ilmiah, dan intelektual.
b. Kecerdasan Emosi: Spontan, kreatif, inovatif, holistik, integratif, dan kooperatif.

10.   Keteguhan dan Ketegasan
a.   Keteguhan: Kuat dalam berpegang pada aturan, nilai moral, dan prinsip manajemen.
b.   Ketegasan: Sifat, watak, dan tindakan yang jelas dan tidak ragu-ragu.

11.   Disiplin dan Keteraturan Bekerja
a.   Disiplin: Taat aturan, norma, dan prinsip.
b.   Keteraturan Bekerja: Perilaku konsisten mengikuti ketentuan/prosedur.

12. Keberanian dan Kearifan dalam mengambil Keputusan dan Menangani Konflik
a.   Keberanian: Berani menanggung resiko atas perbuatan yang dilakukan.
b.   Kearifan: Menuju pada hal-hal yang benar/baik.

13.   Dedikasi dan Loyalitas
a.   Dedikasi: Rela berkorban, mau menyatu dengan lingkungan.
b.   Loyalitas: Mau dan ptuh pada tindakan/anjuran atasan.

14.   Semangat dan Motivasi
      a.  Semangat: Daya/energi yang mendorong perilaku ke tingkat tertingi.
      b.  Motivasi: Merujuk pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.

15.   Ketekunan dan Kesabaran
      a. Teliti, rajin, konsisten, berkelanjutan, dan tidak cepat ke tingkat tertinggi.
      b.  Merujuk pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan.  

16.   Keadilan dan Keterbukaan 
      a. Keadilan: Bekerja ssuai tugas, fungsi, dan wewenang, dapat membedakan hak dan kewajiban,   dan tidak memihak.
      b.  Keterbukaan: Tidak ada yan ditutupi (pada norma tertentu), bebas memeroleh informasi dan  menyampaikan pendapat.

17.   Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
a.       Penguasaan Ilmu Pengetahuan: Ilmu murni/terapan yang mengajak    berbuat obyektif, tidak tahyul, dan menuju keteraturan.
b.      Teknologi: Cara melaksanakan pekerjaan yang efisien dan efektif, cepat-tepat-pasti, baik dengan cara sederhana maupun canggih.

Dalam pokok-pokok Pikiran RUU Etika Penyelenggara Negara (RUU Perilaku Aparat Negara), berisi prinsip, kewajiban, hak, larangan, dan sanksi. RUU tersebut Mengacu pada Etika Kehidupan Berbangsa dan Ketetapan MPR. Setelah empat tahun berjalan, pembahasan masih sekitar isi naskah akademis dan konsepsi tentang etika, moral, dan hukum yang menyangkut sikap dan perilaku aparat negara. Berdasarkan surat Menpan kepada MenhukHAM bulan Juli 2005, usulan RUU adalah RUU tentang Penegakan Etika Aparat Negara dan  pada bulan Maret-Mei 2006 berkembang lagi menjadi Etika Aparat Negara, atau Etika Penyelenggara Negara.  
Dalam konsep RUU Perilaku Aparat Negara sudah diakomodir hal-hal yang menjadi rambu-rambu bagi perilaku aparat negara. Rambu-rambu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip: profesionalisme/profesionalitas, taat dan patuh terhadap hukum, kemanusiaan yanag adil dan beradab, responsif, akuntabel, konsistensi, transparansi, persatuan dan kesatuan, keteladanan,kesetraan dan persamaan.
2. Kewajiban: (1) menghormati, menaati,dan melaksanakan sumpah jabatan dan pakta integritas; (2) menghormati, menaati, dan melaksanakana segala ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) menghormati, mentaati dan melaksanakan kebijakan dan tata tertib yang mengatur tugas, fungsi, kewenangan, dan peran; (4) memberikan informasi secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif; (5) menjaga kerahasiaan yang dipercayakan kepadanya; (6) melaporkan harta kekayan pribadi secara jujur dan benar sesuai peraturan perundang-undangan; (7) menjaga dan memperhatikan kepentingan umum; dan (8) melaporkan segala penerimaana cindermata selama memangku jabatan (gratifikasi).
3. Hak: (1) memperoleh perlakuan yng wajar sesuai tugas, fungsi, dan wewenang; (2) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas; (3) menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari alasan dan kritik masyarakat; (4) menyatakan pendapat dimuka umum secara bertanggungjawab sesuai wewenang; dan (5) mendapatkan pemulihan nama baik.
4. Larangan: (1) membuat pernyatan yang tidak benar, berbohong, membingungkan atau meresahkan masyarakat; (2) bertindak diskriminatif dan atau tidak adil dalam memberikan pelayanan publik; (3) mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung proses peradilan; (4) menyalahgunakan jabatan untuk kepentinan pribadi,keluarga, sanak famili dan atau pihak lain di luar kepentingan tugas dan wewenang; (5) melakukan rangkap jabatan; (6) menyalahgunakan fasilitas jabatan; (7) membuat kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang memihak; (8) menerima imbalan atau hadiah berupa barang atau apa saja yan patut diduga atau patut diketahui mempunyai kaitan dengan tugas fungsi dan wewenang; dan (9) menyalahgunakan dokumen negara
5. Sanksi: diberhentikan sementara, diberhentikan, diturunkan pangkat, ditunda kenaikan pangkat, dan dipecat.

D. Penutup

Dari serangkaian tata nilai dan norma yang saya kemukakan di atas dapat dijadikan sebagai kode etik dalam penyelenggaraan negara. Kode etik akan menjadi “profesional standards” , atau  “right rules of conduct” (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh penyelenggara negara atau administrator publik. Kode etik  berisi atau mengatur hal-hal  yang “baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan atau merupakan tuntunan perilaku (rules of conduct).
Untuk memperoleh kualitas aparatur yang profesional, diperlukan Audit Birokrasi, yaitu langkah untuk menilai kembali semua performa masing-masing aparatur. Apabila tidak memenuhi standar minimal, maka harus ada langkah amputasi berupa Golden Shakehand,  baik berupa pensiun dini maupun cut off  birokrasi.. Langkah ini memang tidak populer dan merupakan pilihan pahit apabila Indonesia akan membangun wajah birokrasi yang baru. Untuk mewujudkan aparatur yang mempunyai pola pikir dan paradigma baru birokrasi Indonesia, harus dilakukan pembenahan secara sistematik dengan mengadopsi seluruh tata nilai dan norma yang melingkupi bekerjanya institusi birokrasi sebagaimana dipaparkan di atas.


Daftar Pustaka



Agus Dwiyanto, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi  Kependudukan dan Kebijakan  UGM, Yogyakarta

Bank Dunia, Memerangi Korupsi di Indonesia Memperkuat Akuntabilitas Untuk kemajuan,  World Bank Office, Oktober 2003

Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of  Public Service. Westport, Connecticut: Greenwood Press.

Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.

Komarudin, Etika PNS, Modul Diklat Pengembangan Perilaku Dalam Mencegah Kerugian Negara, Badan Diklat Depdagri, 2006

Siregar, Doli D, Manajemen Aset, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Suparmoko, M, 2002, Ekonomi Publik, Andi, Yogyakarta

Yeremias T Keban, 2003, Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi Pelayanan Publik, Bahan Ajar, Badan Diklat Depdagri

Zudan Arif Fakrulloh, Internalisasi Nilai-Nilai Birokrasi Sebagai Prasyarat Merubah Pola Pikir Aparatur dalam Menunjang Pelayanan Publik,  Swara Diklat Jatim, Edisi 17 tahun 2006







BIODATA
Prof DR Zudan Arif Fakrulloh, S.H.,MH lahir di Sleman tanggal 24 Agustus 1969. Program Doktor diselesaikan pada tahun 2001 di Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Menjadi Guru Besar sejak tahun 2004 dalam usia 35 tahun .
Sehari-hari bekerja di Depdagri. Selain itu menjadi pengajar dan pembimbing tesis dan disertasi di Pascasarjana UI, UNDIP, UNTAN Pontianak, UNTAG Surabaya, Univ Borobudur jakarta, STIH Iblam, STIE Stiekubank Semarang dan Pengajar di Badan Diklat Depdagri dan Pemda di seluruh Indonesia.
Saat ini menjadi mitra kerja untuk Biro Hukum DKI, Lembaga penerbangan dan antariksa (LAPAN RI), dan beberapa DPRD di Indonesia dan Tim Pakar Penyusunan RUU BUMD, RUU Bidang Politik, RUU Ibukota Negara, UU Pemda,  RUU Antariksa dan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional.
Mengikuti pelatihan dan studi banding di berbagai negara untuk pengembangan SDM dan Otonomi daerah di Jepang, Singapura, Malaysia, Belanda dan Belgia.
Email :cclsis@yahoo.com



























[1] Di antara lembaga keuangan internasional yang secara aktif mendorong pengembangan good governance adalah Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, serta sejumlah lembaga donor seperti CIDA, USAID, dan JICA.

Share this :

Previous
Next Post »
0 Komentar

Penulisan markup di komentar
  • Silakan tinggalkan komentar sesuai topik. Komentar yang menyertakan link aktif, iklan, atau sejenisnya akan dihapus.
  • Untuk menyisipkan kode gunakan <i rel="code"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan kode panjang gunakan <i rel="pre"> kode yang akan disisipkan </i>
  • Untuk menyisipkan quote gunakan <i rel="quote"> catatan anda </i>
  • Untuk menyisipkan gambar gunakan <i rel="image"> URL gambar </i>
  • Untuk menyisipkan video gunakan [iframe] URL embed video [/iframe]
  • Kemudian parse kode tersebut pada kotak di bawah ini
  • © 2015 Simple SEO ✔